> >

Kompolnas Sebut Polisi yang Dapat Perintah Melanggar Hukum Bisa Laporkan Atasannya ke Kapolri

Hukum | 19 Oktober 2022, 23:10 WIB
Ketua Harian Kompolnas Irjen (Purn) Benny Mamoto menyebut anggota Polri yang mendapat perintah melanggar hukum wajib menolak, dan dapat melaporkan perintah tersebut pada Kapolri. (Sumber: Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang mendapat perintah melanggar hukum wajib menolak, dan dapat melaporkan perintah tersebut pada atasan langsung pemerintah atau ke Kapolri.

Penjelasan itu disampaikan oleh Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (19/10/2022).

Menurut Benny, hal itu diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2002.

Pasal 6 aturan tersebut, kata Benny, mengatur bahwa bawahan wajib menaati perintah atasan.

“Tapi berikutnya, bawahan wajib menolak kalau perintah itu melanggar hukum, melanggar kesusilaan, agama, dan sebagainya,” ucapnya.

“Baru berikutnya dinyatakan bahwa, ketika dapat perintah yang melanggar tadi, si bawahan ini berhak mengadu atau melaporkan pada atasannya yang ngasih perintah,” tekannya.

Baca Juga: Banyak Polisi Terlibat Kasus Sambo karena Relasi Kuasa, Padahal Jika Menolak Mungkin tak Ditindak

Hal ini, kata Benny, perlu disosialisasikan pada seluruh anggota Polri, agar di masa mendatang, mereka semua memahami aturan tersebut.

“Inilah yang menurut kami ke depan perlu disosialisasikan, kemudian dipahami oleh seluruh anggota, dijamin ketika mereka melakukan sikap kritis kepada atasannya, mereka dapat perlindungan.”

“Bisa ke atasan satu tingkat di atasnya, bisa juga ke Kapolri, supaya dapat perlindungan,” lanjutnya.

Benny menjelaskan hal itu menanggapi banyaknya anggota Polri yang terseret kasus Ferdy Sambo.

Baca Juga: Chuck Putranto Perintahkan Irfan Widyanto untuk Mengambil DVR CCTV di Duren Tiga!

Menurutnya, sebelum jabatan Sambo dicopot oleh Kapolri, yang diistilahkannya dengan bedol desa, para anggota polisi yang terlibat tersebut memiliki faktor psiko-hierarki terkait hubungan hierarki antara atasan dan bawahan.

“Ketika belum ada bedol desa, mereka masih pada posisi di mana mereka ada faktor psiko-hierarki, atasan bawahan, kewenangan Sambo yang besar, sehingga mereka semua ikut,” terangnya.

“Setelah bedol desa, tidak ada jabatan, tidak ada kaitan atasan-bawahan, mulailah mereka berani bicara,” pungkasnya.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU