> >

Rekam Jejak Aswanto, Hakim MK yang Jabatannya Tiba-tiba Dicopot DPR

Politik | 30 September 2022, 12:18 WIB
Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (26/3/2019). (Sumber: CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)

JAKARTA, KOMPAS TV - DPR memutuskan untuk tak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi Aswanto. 

Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna Ke-7 DPR masa sidang pertama tahun sidang 2022-2023, Kamis (29/9/2022). 

Baca Juga: DPR Mendadak Copot Aswanto dari Hakim MK, Jimly Asshiddiqie: Presiden Jokowi Harus Menolak

”Tidak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaga DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.

Pemberhentian Aswanto dari Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan secara tiba-tiba dan menuai kritikan tajam dari mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. 

Ia mengkritisi keputusan lembaga legislatif yang secara tiba-tiba mencopot Aswanto dari jabatan wakil ketua MK. 

Ia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak hasil rapat paripurna DPR dengan menerbitkan keputusan presiden yang mengangkat Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi.

“Presiden harus tegas. Jangan tindaklanjuti karena tidak benar mekanismenya. Kalau langkah ini dibenarkan, DPR berhak memecat hakim konstitusi kapanpun dia mau, nanti MA (Mahkamah Agung) juga akan memecat hakim konstitusi. Presiden juga akan melakukan hal yang sama. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Jimly seperti dikutip dari Kompas.id, Jumat (30/9/2022). 

Lantas, bagaimana rekam jejak Aswanto hingga akhirnya menjadi pimpinan MK? Dikutip dari laman mkri.id, Jumat (30/9/2022), berikut profilnya. 

Aswanto melabuhkan diri menjadi satu dari sembilan penjaga konstitusi. 

Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini terbilang sering bersentuhan dengan MK. 

Ia kerap diminta menjadi pembicara dalam kegiatan MK, salah satunya menjadi narasumber dalam pendidikan dan pelatihan perselisihan hasil pemilihan umum untuk partai politik peserta pemilu.

“Dari 12 parpol, sepuluhnya saya ikut mengisi. Tema yang dipercayakan pada saya berkaitan dengan sengketa pemilu yang dalam waktu dekat akan segera ditangani MK,” kata Aswanto.

Ia juga dipercaya MK menjadi satu dari tiga anggota panitia seleksi Dewan Etik MK. Bersama Laica Marzuki dan Slamet Effendi Yusuf, Aswanto ikut memilih tiga nama anggota Dewan Etik MK yang kini telah resmi bertugas. 

Selain itu, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi yang dipimpinnya juga bekerjasama dengan MK untuk sejumlah kegiatan, salah satunya persidangan jarak jauh dengan menggunakan video conference.

Kendati begitu, Aswanto mengaku tidak pernah terpikir untuk menjadi hakim konstitusi. 

Pengabdiannya menjadi dosen untuk S1 sampai S3 di Universitas Hasanuddin dan sejumlah kegiatan lain di luar kampus telah menghujani pria asal Palopo Sulawesi Selatan ini dengan berbagai kesibukan. 

Hingga prahara Oktober terjadi, ketika mantan Ketua MK Akil Mochtar diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kasus suap sejumlah sengketa Pemilukada, Aswanto dan rekan-rekannya berpikir hakim pengganti Akil harus yang memiliki integritas. 

Hal tersebut, dinilai rekan dan koleganya dimiliki oleh Aswanto. 

“Teman-teman mengatakan kalau selama ini kita berteriak-teriak di luar untuk menegakkan keadilan, mungkin sudah waktunya untuk ikut masuk ke dalam sistem. Itu yang membuat saya berpikir ya sudah, saya coba masuk,” ujarnya.

Sebagai hakim, ia bertugas memeriksa dan mengadili perkara di ruang sidang. Selain itu hakim konstitusi juga rutin melakukan rapat permusyawaratan hakim. 

“Di sana kita menyampaikan pandangan di depan hakim lain mengenai suatu perkara. Tapi saya lihat ada suasana yang walaupun semua punya pandangan dan prinsip, tapi disampaikan dalam suasana kekeluargaan. Jadi menarik, ya,” ujarnya.

Perjalanan dengan Rintangan

Jalan yang harus dilalui Aswanto untuk menjadi hakim konstitusi terbilang tidak mulus. Ia mesti menghadapi berbagai rintangan. 

Sosoknya yang tegas ketika memimpin fakultas, membuatnya tidak disukai sejumlah pihak, termasuk koleganya sendiri. 

Saat mencalonkan diri, muncul sebuah tulisan opini yang menyatakan penolakan terhadap Aswanto. Bukan hanya dirinya, opini tersebut juga membawa keluarga Aswanto.

Saat seleksi di DPR, Dewan Pakar yang menyeleksinya pun turut mempertanyakan kebenaran tulisan tersebut pada Aswanto. 

Namun, karena tulisan yang dimuat di media online tersebut fitnah, ia menanggapi santai hal tersebut. 

Ayah dua anak ini bahkan meminta pada Komisi III DPR agar dipersilakan untuk mengucapkan sumpah bahwa tulisan itu tidak benar.

“Waktu itu saya minta ke teman-teman Komisi III untuk klarifikasi di bawah sumpah agar tahu kebenarannya karena memang ada beberapa yang hampir benar. Misal, saya orang pidana yang mengajukan diri menjadi hakim konstitusi, itu benar. Tapi disertasi saya tentang hak asasi manusia dan saya berpengalaman menjadi Ketua Panwaslu Sulawesi Selatan,” ungkapnya.

Latar belakang pendidikan Aswanto yang merupakan ahli hukum pidana pun sempat dipertanyakan. 

Pasalnya, hakim konstitusi erat kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Lagi-lagi Aswanto dapat mengatasi hal tersebut. 

Diakuinya, latar belakang pendidikannya memang ‘gado-gado’. 

Selepas meraih gelar sarjana hukum pidana di Universitas Hasanuddin, ia melanjutkan pogram pascasarjana Ilmu Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada. Gelar doktor diraihnya di Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Airlangga. 

Namun, disertasi yang ditulisnya terkait dengan hak asasi manusia.

Baca Juga: Begini Tanggapan Dua Eks Ketua MK soal Hakim Agung Terlibat Dugaan Korupsi

“Kalau bicara HAM, cantolannya kan di konstitusi. Selain itu, saya juga punya pengalaman empiris sebagai ketua panwas, tentu itu ada kaitannya soal pemilu."

"Orang memang mengatakan MK lebih kepada persoalan ketatanegaraan, tapi kan tidak melulu selalu berkaitan dengan hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Persoalan ketatanegaraan ini mencakup seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Aswanto. 

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU