> >

Setara Institute Beberkan Bahayanya jika BPIP Budayakan Pancasila Hanya dengan Seremoni dan Agitasi

Peristiwa | 13 Juni 2022, 20:01 WIB
Ketua SETARA Institute Hendardi (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Setara Institute menilai sulit bagi masyarakat untuk menerima Pancasila sebagai ideologi terbuka jika kinerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hanya berkutat pada seremoni dan agitasi.

Sebab, kelompok-kelompok yang bertentangan dengan ideologi Pancasila terus tumbuh.

Demikian diungkapkan Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangannya, Senin (13/6/2022).

“Jika kinerja badan-badan yang ditujukan untuk membudayakan Pancasila, semacam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hanya berkutat pada seremoni dan agitasi, maka sulit bagi masyarakat untuk menerima Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa menjadi spirit mencapai tujuan bernegara,” kata Hendardi.

Baca Juga: BPIP Periode 2022-2027 akan Lebih Banyak Bumikan Pancasila ke Dunia Milenial

“Khususnya membangun kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi setiap bangsa.”

Termasuk, kata Hendardi, jika kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) semakin kehilangan fokus.

“Maka kerja deradikalisasi hanya menjadi rutinitas ritual BNPT yang tidak menyentuh aspek hulu dari terorisme,” ujarnya.

Oleh karena itu, Hendardi berpendapat langkah kepolisian menangani kelompok Khilafatul Muslimin dengan menggunakan delik-delik pidana di luar kerangka Undang-Undang Terorisme, secara normatif lebih tepat.

“Karena kelompok Khilafatul Muslimin ini sesungguhnya tidak atau belum melakukan tindak pidana terorisme kecuali mempromosikan ideologi yang berbeda,” katanya.

Baca Juga: BPIP: Waisak Momentum Tingkatkan Persatuan dan Rawat Kemajemukan

“Penindakan terbatas yang menjerat pimpinan Khilafatul Muslimin juga dinilai tepat, karena pimpinan dan pengurus telah secara nyata mengusahakan gagasan Khilafatul Muslimin itu terwujud.”

Di samping itu, Hendardi menilai apa yang dilakukan oleh Polri melalui Polda Metro Jaya adalah bagian dari pencegahan intoleransi yang tepat.

“Selama ini, seringkali dibiarkan hingga kelompok-kelompok tertentu mewujud menjadi tindakan radikalisme kekerasan dan terorisme. Pencegahan di hulu, yakni menangani intoleransi adalah salah satu cara menangani persoalan terorisme,” ujarnya.

“Meskipun demikian, penanganan non hukum, dalam arti pekerjaan pencegahan dengan berbagai pendekatan harus menjadi prioritas berbagai badan-badan negara dan juga aparat hukum. Pencegahan dan penanganan intoleransi harus diperkuat dan menjadi yang utama.”

Baca Juga: Polda Metro Ungkap Khilafatul Muslimin Punya 30 Sekolah untuk Sebarkan Ideologi Khilafah

Sebelumnya diberitakan, pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia ditangkap pada Selasa (7/6/2022) pagi.

Penangkapan ini terjadi setelah sejumlah anggota Khilafatul Muslimin melakukan konvoi di kawasan Cawang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Video peristiwa tersebut sempat viral di media sosial. Dalam video itu, tampak para peserta konvoi terdiri dari orang dewasa hingga anak-anak yang mengenakan pakaian bernuansa warna hijau.

Beberapa di antaranya tampak mengibarkan bendera dan membawa poster bertuliskan "Sambut Kebangkitan Khilafah Islamiyyah."

Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan, polisi menangkap lagi empat orang berinisial AA, IN, FA, dan SW, yang menjadi tokoh sentral dalam pergerakan Khilafatul Muslimin.

Baca Juga: Polda Jawa Tengah Tetapkan 6 Pimpinan Khilafatul Muslimin sebagai Tersangka

Saat ini, polisi telah menetapkan Abdul Qadir dan lima petinggi Khilafatul Muslimin lainnya sebagai tersangka terkait dugaan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Mereka dipersangkakan dengan Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Kemudian, Pasal 14 Ayat (1) dan (2), dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun.

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU