> >

Aiman dan Jenderal Dudung yang Tak Terbendung

Aiman | 28 Desember 2021, 10:22 WIB
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman (Sumber: Darwis Triadi)

Hampir seharian di hari itu, sejak sebelum subuh saya dan Tim sudah bersiap untuk mewawancarai Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman di Markas Besar TNI AD (Mabesad) di kawasan Monas Jakarta Pusat. Sekitar pukul 6 pagi, kami tiba di Mabesad. Sejumlah perwira militer juga tengah bersiap untuk melakukan upacara. 

Tak berapa lama, Jenderal Dudung datang, upacara jajar kehormatan telah disiapkan untuk dijalankan. Satu hal yang saya belum pernah melihat sebelumnya, satu persatu pakaian prajurit berpangkat Prada dan Pratu, diperiksa oleh sang Jenderal.

Bukan hanya soal kerapian, tapi dari mana ia membeli baju, sendiri atau lewat kesatuan. Saya menanyakan kepada sang Jenderal, "selayaknya para prajurit, tidak membeli pakaian sendiri, tetapi harus disiapkan oleh negara, dan itu menjadi tugas saya untuk menyiapkan!", ungkapnya kepada saya secara Eksklusif di Program AIMAN yang tayang di Kompas TV setiap hari Senin, pukul 8 malam.

Saya kemudian diajak ke ruangan "sakral" yang belum pernah dimasuki wartawan sekalipun. Ruang kerja utama sang Jenderal di Mabesad. Saya berpikir ruangan yang sangat luas, ternyata hanya terdiri dari 2 ruangan sedang untuk bekerja dan rapat, dan 1 kamar untuk berganti pakaian dan juga kamar mandi. 

Yang mencuri perhatian saya adalah layar-layar yang terpampang di ruangan sang Jenderal. Saya tanyakan, "apa ini, Jenderal?" merujuk pada satu layar yang berisi grafik piramida.

Sang Jenderal pun menjawab, itu adalah posisi jabatan para prajurit TNI AD, dari atas (Jenderal) sampai terbawah, Prajurit Dua (Prada).

Sebegitu pentingnya jenjang karier ratusan ribu Prajurit TNI AD, sehingga ada satu layar yang khusus memampang informasi tentangnya. Bagaimana pengembangannya, bagaimana kendalanya, dan bagaimana solusinya. Di sisi lain, ada pula 3 layar lainnya, yang saya tunjukkan di tayangan AIMAN

Hari itu, saya berencana ikut Jenderal Dudung untuk menghadiri Ulang Tahun Divisi I Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang berlokasi di Cilodong, Depok, Jawa Barat. Saya pergi bersama sang Jenderal menuju ke sana.

Di perjalanan saya berbicara ngalor-ngidul, soal kiprah selama ini Jenderal Dudung, yang memiliki warna, terkadang punya konsekuensi pro dan kontra, tapi tetap dijalankan, bagaikan tak berhenti menantang badai.

Saya pun bertanya soal Patung Pak Harto, Pak Nasution, dan Pak Sarwo Edhie, yang hilang di Museum Kostrad, saat dirinya menjadi Pangkostrad. Dan sontak kala itu, Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sempat mengatakan PKI sudah merasuk ke Tubuh TNI.

"Ini tunjukkan bahwa mau tidak mau kita harus akui, dalam menghadapi pemberontakan G30SPKI, peran Kostrad, peran sosok Soeharto, peran Kopassus yang dulu Resimen Para Komando dan Sarwo Edhie, dan peran Jenderal Nasution, peran KKO jelas akan dihapuskan dan (tiga) patung itu sekarang tidak ada, sudah bersih."

Selama ini, Dudung tak pernah menjawab soal ini. Hanya Kepala Penerangan Kostrad, kala itu yang menjawab. Saya tanyakan ini ke Jenderal Dudung.

"Pak AY Nasution (Pangkostrad 2011-2012), meminta kepada saya, agar mencopot patung-patung yang Pak AY buat. Setelah ia belajar agama lebih dalam, maka ia punya keyakinan bahwa ia merasa berdosa kepada Tuhan, karena telah memerintahkan membuat patung-patung tersebut."

Beberapa pertanyaan yang sempat membuat viral juga saya ajukan. Termasuk pernyataan Jenderal Dudung yang kontroversial, soal jangan belajar agama terlalu dalam, saat mengisi Kultum (Kuliah Tujuh Menit) Shalat Subuh di sebuah Masjid di Jayapura, Papua.

Apa jawaban sang Jenderal?

"Kalimat saya dipotong, dan viral! Yang benar adalah, Jangan belajar terlalu dalam, tanpa bimbingan Guru atau Ustaz, ini yang saya katakan", jelasnya kepada saya.

Tak berhenti di sini, saya juga menanyakan sejumlah pertanyaan lain, termasuk soal persatuan hingga pertahanan, di Program AIMAN Kompas TV.

Memang di era komunikasi banyak informasi yang berseliweran tanpa ada yang bisa menahannya, sungguh berbeda di era terdahulu. Sayangnya, 1 informasi bohong yang diulang 1.000 kali, akan menjadi kebenaran!

Tak ada jalan lain, untuk mengubah cara komunikasi, dengan memberikan penjelasan, bukan sebaliknya, menutup perdebatan!

 

Bisakah kita melawan tsunami informasi yang terjadi?

 

Saya Aiman Witjaksono...

 

Salam!

Penulis : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU