> >

ICW: Pelemahan KPK di Bawah Kepemimpinan Firli Bahuri Teridentifikasi dalam 5 Hal, Ini Ulasannya

Berita utama | 28 Desember 2021, 08:35 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri (Sumber: YouTube KPK)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan Firli Bahuri teridentifikasi setidaknya dalam lima hal.

Hal tersebut berdasarkan kajian evaluasi dua tahun KPK yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PuKAT UGM).

“Setidaknya terdapat lima hal yang akan diulas dalam laporan hasil pemantauan ini,” ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keteranganannya, Senin (27/12/2021).

Pertama, ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah.

Namun pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi oleh jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan.

Baca Juga: Azis Syamsuddin Minta KPK Buka CCTV DPR

“Pemerintah, DPR, dan para pimpinan KPK tampak semakin alergi dengan penindakan. Penting digarisbawahi, pemberantasan korupsi dalam konteks penindakan bukan tidak dilakukan sama sekali, namun pelaksanaanya masih tergolong biasa-biasa saja,” ujarnya.

“Praktis tidak terlihat adanya target yang jelas dan terukur, bahkan intervensi ke area prioritas juga minim dilakukan. Tak cukup itu, paket legislasi untuk menyokong penegak hukum juga tidak kunjung diundangkan,” tambah Kurnia.

Seperti halnya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan harmonisasi UU Tipikor dengan ketentuan UNCAC. Akibatnya, upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara akan semakin sulit terlaksana.

“Ketiadaan orientasi politik hukum anti korupsi yang konkret sudah barang tentu menjadi penghambat agenda pemberantasan korupsi ke depan. Dengan kata lain, narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh Pemerintah dan DPR selama ini hanya ilusi semata,” ujar Kurnia.

Kedua, implikasi revisi UU KPK. Dampak perubahan regulasi di KPK sudah dapat dirasakan setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Substansi UU 19/2019 pada faktanya memang ditujukan untuk mengendurkan tugas KPK dalam memberantas korupsi.

Baca Juga: KPK Panggil Alfred Simanjuntak, Tersangka Kasus Suap Perpajakan yang hingga Kini Belum Ditahan

“Mulai dari merobohkan independensi kelembagaan menjadi bagian dari rumpun eksekutif, menghentikan penyidikan perkara korupsi BLBI dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun,” beber Kurnia.

“Hingga mengubah status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN),” tambahnya.

Ketiga, lanjut Kurnia, kinerja sektor penindakan yang semakin mengkhawatirkan satu di antaranya terlihat dari mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S.. Tjandra serta Jaksa Pinangki S. Malasari.

Lalu jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang anjlok sejak dua tahun terakhir dan minimnya penanganan perkara strategis yang melibatkan penegak hukum.

“Selain itu, KPK di bawah komando Firli Bahuri juga mengalami penurunan kualitas penanganan perkara yang ditunjukkan dengan rendahnya penuntutan, karut marut penanganan perkara penting seperti korupsi bansos yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara,” ungkap Kurnia.

Baca Juga: KPK Tidak Bisa Memproses Hukum Hanya dengan Simsalabim Lalu Ditangkap

“Keengganan meringkus buronan seperti Harun Masiku, hingga tidak adanya tindak lanjut terhadap perkara yang menjadi tanggungan KPK,” tambahnya.

Kemudian keempat, kinerja sektor pencegahan yang belum efektif. Hal itu terlihat dari revisi UU KPK yang diklaim memperkuat sektor pencegahan, disaat bersamaan tak cukup mengakomodasi kebutuhan penguatan program pencegahan itu sendiri.

Kondisi tersebut disebabkan beberapa alasan, seperti belum adanya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tidak memberikan LHKPN.

Hingga tidak adanya tindak lanjut dari rekomendasi fungsi koordinasi dan supervisi KPK, sampai kewenangan KPK untuk pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tak lagi tercantum dalam UU 19/2019.

“Tak hanya itu, berdasarkan Ikhtisar hasil pemeriksaan (IHPS) semester II 2020 yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), program pencegahan dan pengelolaan benda sitaan serta barang rampasan tipikor yang dilakukan oleh KPK juga belum efektif,” kata Kurnia.

Baca Juga: Firli Bahuri: KPK Tak akan Terlibat Permainan Opini dan Persaingan Politik

Terakhir, sambung Kurnia, adalah pengelolaan internal KPK yang buruk dengan terbitnya Peraturan Komisi No. 7 Tahun 2020 (PerKom 7/2020). Menurutnya, aturan ini justru memperlambat kinerja organ KPK dan berdampak pada jumlah anggaran yang harus dikeluarkan.

Apalagi, lanjut Kurnia, hal tersebut dilakukan di saat institusi lain berusaha merampingkan struktur organisasinya.

“PerKom 7/2020 bertentangan pula dengan substansi UU KPK,” tegas Kurnia.

Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak berfungsi efektif untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja pegawai maupun Komisioner KPK.

“Kualitas penegakan kode etik juga gagal diperlihatkan oleh Dewan Pengawas, setidaknya berdasarkan sejumlah putusan etik selama ini yang dijatuhkan terhadap dua pimpinan KPK yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar,” kata Kurnia.

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU