> >

Cegah Kekerasan Seksual, Verifikasi Pendirian Sekolah Berasrama Perlu Dilakukan Lebih Teliti

Sapa indonesia pagi | 11 Desember 2021, 12:48 WIB
Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengusulkan agar dilakukan verifikasi lebih teliti terhadap pendirian sekolah berasrama dan pesantren, termasuk rekam jejak guru dan pendirinya. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto mengusulkan agar dilakukan verifikasi lebih teliti terhadap pendirian sekolah berasrama dan pesantren, termasuk rekam jejak guru dan pendirinya.

Usulan tersebut disampaikan Yandri menanggapi sejumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan. Yang terbaru, kasus pemerkosaan 21 santriwati di Bandung yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren, Herry Wirawan. 

“Ke depannya, pendirian sekolah tidak segampang itu. Jadi mesti diteliti, diverifikasi betul, siapa yang mendirikan, apa latar belakang pendidikannya, kalau perlu ada tes psikologi untuk guru-guru dan pemiliknya, apakah ada kelainan jiwa, kelainan seks,” urainya saat menjadi narasumber pada Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Sabtu (11/12/2021).

Hal itu, lanjut Yandri, merupakan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual pada peserta didik.

Baca Juga: Guru Pesantren Cabuli Belasan Santriwati, DPR: Ini Adalah Masalah Besar, Masalah Bangsa Kita

“Termasuk juga cara belajarnya, metodenya, guru-guru yang terlibat, ruang kelasnya,” tambah Yandri.

Menurutnya, kasus pelecehan seksual bukan hanya terjadi di lingkungan pesantren atau madrasah saja, tetapi juga sampai ke perguruan tinggi.

Kasus-kasus semacam itu tidak akan selesai hanya dengan perbincangan di media atau didiskusikan di ruang publik. Sebab, diskusi semacam itu tidak memiliki kekuatan hukum.

“Maka perlu dirangkum dalam payung hukum, apakah itu undang-undang, atau perda (peraturan daerah), termasuk kebijakan anggaran,” ucapnya

Saat ditanya mengenai perlukah ada revisi Undang-Undang Pesantren, Yandri menyebut bahwa undang-undang tersebut baru disahkan pada 2019 lalu.

Dia mengakui masih banyak kekurangan di dalam undang-undang tersebut. Tetapi, revisi undang-undang pesantren saja dinilainya tidak cukup.

Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pun perlu direvisi, khususnya tentang vonis hukuman mati untuk pelaku.

“Kan belum direvisi UU KUHP-nya. Sekarang banyak tuntutan dihukum mati saja, kan nggak ada payung hukumnya.”

Dia menambahkan, semua pihak harus satu langkah untuk mengatasi hal semacam ini.

“Kalau misalnya dari UU Pesantrennya saja (direvisi) tapi pemberatan pidananyan nggak ada, komitmen anggarannya nggak ada, ya sami mawon (sama saja),” imbuhnya.

“Dari A sampai Z harus sama nadanya. Kalau masih parsial, saya kira ini hanya letupan-letupan seperti ini saja, setelah itu tenggelam kemudian kita dikagetkan dengan kejadian lagi, begitu terus. Pengulangan-pengulangan, tapi nggak pernah ada solusi secara komprehensif.”

Usulan Yandri tersebut mendapat dukungan dari Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania.

“Saya setuju dengan yang disampaikan Pak Yandri, para pendidik itu harus dicek rekam jejaknya. Kalau bisa juga ada tes bahwa layak atau tidak menjadi pendidik anak terutama,” tuturnya.

Dia menjelaskan, akhir-akhir ini cukup banyak permohonan perlindungan yang diterima oleh LPSK, termasuk dari belasan anak di sekolah yang berbasis asrama, seperti boarding school.

“Bukan hanya dari pondok pesantren saja tetapi juga panti asuhan yang berbasis agama Katolik misalnya. Jadi menurut kami di LPSK memang sangat penting tentang rekam jejak itu.”

Livia juga sepakat bahwa pendidikan tentang kesehatan reproduksi perlu diajarkan pada anak, termasuk tentang pendidikan seks.

Baca Juga: 6 Fakta Dugaan Pencabulan terhadap Santriwati di Tasikmalaya oleh Gurunya

“Diajarkan anak-anak bertingkah laku asertif, bagian mana bisa disentuh, siapa pun tidak boleh menyentuh termasuk juga ayah dan keluarga dekat,” tambahnya.

Sebab, lanjut Livia, berdasarkan data LPSK yang masuk ke peradilan pidana, mayoritas pelaku adalah orang-orang yang dikenal oleh si anak, mulai dari ayah kandung, ayah angkat, ayah tiri, kakek, kakak, paman, dan guru.

“Bahkan ada terlindung kami yang kekerasan seksual terjadi di jam sekolah, oleh guru sekolah, di ruang sekolah, dan si guru dibantu oleh teman sekolahnya,” ungkap Livia.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU