> >

Komnas Perempuan Sebut 12 Ribu Kasus Kekerasan terhadaap Perempuan Serupa yang Menimpa NWR

Update | 7 Desember 2021, 13:45 WIB
Ilustrasi kekerasan. Kasus kekerasan terhadap NWR merupakan dating violence atau kekerasan dalam pacaran. Kasus semacam itu menduduki 20 persen dari kasus kekerasan perempuan. (Sumber: komnasperempuan.go.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Kasus kekerasan terhadap NWR merupakan dating violence atau kekerasan dalam pacaran. Kasus semacam itu menduduki 20 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan.

Penjelasan itu disampaikan oleh Ketua Komisi Nasional (Kompas) Perempuan, Andy Yentriyani, dalam konferensi pers secara daring, Senin (6/12/2021).

Menurutnya, kompleksitas kasus ini perlu menjadi pembelajaran bagi semua pihak, karena menjadi sinyal darurat kekerasan seksual terhadap perempuan.

Kompleksitas ini, lanjut Andy, membutuhkan respons berbagai pihak yang mendukung upaya pemenuhan hak-hak korban, termasuk dengan pengesahan RUU TPKS.

RUU tersebut menjadi kunci penting, mengingat bukan hanya untuk memutus impunitas dari pelaku, namun juga memberikan upaya penanganan yang berperspektif gender.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Bripda Randy Punya Hubungan dengan Wanita Lain, Tapi Tak Mau Putuskan NWR

“Mengingat adanya kasus yang menimpa korban NWR adalah salah satu dating violence, yang menduduki posisi ketiga terbanyak dalam ranah privat,” jelasnya.

Dia menyebut, dalam enam tahun terakhir, hampir 12 ribu kasus dating violence yang diterima oleh berbagai pengada layanan, atau sekitar 20% dari total kasus.

“Namun sangat disayangkan bahwa dari pengaduan yang diterima, rata-rata berakhir pada kebuntuan,” lanjutnya.

Kebuntuan tersebut disebabkan oleh berbagai hambatan, seperti kriminalisasi terhadap korban, anggapan adanya consent di antara kedua pihak, atau bahkan tuduhan bahwa laporan korban tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Sementara, Siti Aminah Tardi, menyampaikan bahwa pada Bulan Agustus lalu korban NWR melapor pada Komnas Perempuan terkait kasus kekerasan seksual dan pemaksaan aborsi yang dialaminya.

Selanjutnya, pada awal bulan November bagian Unit Pengaduan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan telah mengontak NWR.

“Berdasarkan hasil penelusuran informasi ketika berkontak dengan korban, disampaikan bahwa korban mengalami kekerasan berlapis dan berulangkali sejak tahun 2019, sejak pertama kali menjalin hubungan dengan pelaku,” jelasnya.

Hal ini, kata Aminah, merupakan bukti bahwa korban terjebak dalam siklus kekerasan melalui eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi oleh pelaku.

Hambatan di Masa Pandemi

Sedangkan, Theresia Iswarini, menyebut bahwa di masa pandemi, isu tentang daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami berbagai hambatan.

Menurutnya, hal ini dikarenakan berbagai faktor, termasuk adanya perubahan layanan dari luring ke daring.

Selain itu, melonjaknya kasus kekerasan menyebabkan sumber daya untuk membantu korban mengalami kegagapan yang luar biasa.

Selain itu, jarak dan perubahan metode konseling juga menimbulkan membuat kesulitan tertentu bagi para konselor, sehingga hal ini menjadi tantangan untuk perbaikan layanan ke depannya.

Iswarini menambahkan, Komnas Perempuan sangat terbuka dan koperatif jika pihak penyidik memerlukan keterangan dari pihak Komnas Perempuan.

“Termasuk terkait surat yang dikirmkan oleh korban terkait detil kekerasan yang dialami sebagai bagian dari proses penyidikan,” tuturnya.

Menurutnya, Komnas Perempuan juga pernah mengajukan permohonan audiensi kepada Kapolri terkait kasus kekerasan perempuan. Namun kesempatan untuk berkoordinasi masih mengalami kendala.

Berdasarkan catatan akhir tahun (CATAHU) Komnas Perempuan, lanjut Iswarini, menunjukkan bahwa kepolisian mengalami hambatan dalam penanganan.

Hambatan itu disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk adanya relasi kuasa yang besar, seperti pelaku yang berstatus sebagai aparatur negara.

Baca Juga: Terungkap, NWR Sempat Minta Pertolongan Komnas Perempuan

Dia juga menjelaskan bahwa orang terdekat berperan penting dalam membantu korban untuk terus berjuang, baik melalui pengaduan, perlindungan saat diintimidasi, maupun ketika adanya hambatan yang bersifat institusional seperti ketika APH lambat dalam melakukan proses hukum.

“Berkaca pada kasus-kasus yang ada, korban biasanya baru bisa diberikan perlindungan ketika tahap kepolisian, tentunya menjadi masalah apabila pelaku memiliki status sosial politik yang kuat.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU