> >

Skenario Perjalanan Libur Nataru, Pemerintah Daerah Didorong Terbitkan Perda dan Denda

Berita utama | 3 Desember 2021, 11:29 WIB
Suasana acara dialog Sapa Indonesia Pagi bertajuk “Skenario Perjalanan Libur Nataru” di Kompas TV, Jumat (3/12/2021) . (Sumber: Tangkapan Layar)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Peraturan Daerah (Perda) khusus penanganan Covid-19 dipandang perlu diterbitkan oleh pemerintah provinsi hingga tingkat kabupaten dan kota.

Hal ini dilakukan salah satunya guna mencegah adanya lonjakan kasus Covid-19 di daerah, terutama pada masa-masa liburan mulai dari Natal, Tahun Baru, Lebaran serta liburan sekolah.

Menurut Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono perda-perda harus dikeluarkan, hal ini mengacu pada kekuatan transmisi lokal di daerah yang bisa memicu lonjakan kasus Covid-19.

"Perda-perda khusus itu harus dikeluarkan. Kalau syukur jangan hanya di provinsi, tapi juga di kabupaten dan kota bagaimana mereka mengelola transmisi lokal itu," kata Agus Taufik Mulyono dalam program dialog Sapa Indoenesia Pagi Kompas TV, Jumat (3/12/2021).

Adapun dalam perda yang dibuat oleh masing-masing daerah, kata Agus dapat disesuaikan dengan pendekatan budaya, karakter hingga lingkungan.

Bahkan dibuat dengan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku di pemerintah pusat.

Ia menyebut ini dilakukan agar kemudian aturan tersebut dapat menjadi sebuah penyadaran bagi masyarakat di wilayah tersebut.

"Disesuaikan dengan pendekatan budaya, karakter atau gestur penduduk, dan lingkungan. Mau gak mau begitu, karena mereka (pemerintah daerah) yang tahu sendiri bagaimana mengaturnya. Misal penduduk saya keras-keras, bandel bandel, pemimpin di situ yang tahu," jelas Agus.

Baca Juga: Epidemiolog UI: PPKM Level 3 di Akhir Tahun Salah Besar, Harusnya PPKM Khusus Nataru

Senada dengan pernyataan Agus, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono menyebut penanganan Covid-19 di Indonesia perlu didorong dengan aturan yang konsisten, seperti perda di semua provinsi atau dibuatnya peraturan pemerintah.

"Mari kita tentukan aturan yang konsisten dan berlaku lama sampai wabah ini berakhir dan rakyat harus mengerti tentang aturan tersebut. Apakah itu dibuat perda provinsi dan semua provinsi membuatnya, apakah itu dibuat peraturan pemerintah," kata Tri Yunis dalam program acara yang sama.

Adapun aturan tersebut, kata dosen tetap UI ini salah satunya bisa mengatur soal kerumunan sehingga bagi masyarakat yang melanggar akan mendapatkan denda.

Penerapan denda di tengah pandemi Covid-19

Dalam hal ini, Tri Yunis memberi contoh aturan larangan berkerumun yang telah berlaku di Singapura dan Malaysia. Bagi yang melanggar, ia menyebut masyarakat akan didenda mulai 2-3 juta.

"Masyarakat memang tidak boleh berkumpul dan berkerumun, jika ketahuan maka akan di denda seperti di Singapura dendanya 3 juta di Malaysia 2 juta. Baru semua orang kapok," jelasnya.

Bahkan, Tri Yunis memaparkan saat pertama kali aturan larangan berkerumun diterapkan memang ada banyak masyarakat yang tetap melanggar dan dikenakan denda. Namun, kemudian masyarakat bisa sadar untuk tidak melakukannya lagi.

"Seperti di Singapura, pertama kali aturan itu digaungkan masih banyak yang melanggar. Tapi, lama-lama orang menjadi miskin kalau melanggar terus," paparnya.

Baca Juga: PPKM Level 3 Dianggap Tak Efektif, Masyarakat Disebut akan Curi Start Liburan

"Jadi menurut saya buat aturannya dan tetap menggunakan masker sampai wabah ini berakhir. Mari kita ciptakan negara ini bebas dari Covid-19. Kita hampir selesai kok, mari kita tuntaskan kita bebas dari Covid-19. Selandia baru bisa, masa kita tidak bisa," imbuhnya.

Soal denda, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menyatakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang senang dimarahi, senang diberi sanksi, dan senang melawan aturan.

Agus sepakat kemudian apabila ada penegakan hukum yang dilakukan bagi publik yang melakukan pelanggaran di tengah pandemi Covid-19.

Salah satu hal yang disoroti soal pelanggaran dalam perjalanan moda transportasi.

"Bangsa kita ini kan bangsa yang senang dimarahi, senang diberi sanksi. Tapi sebaliknya juga senang melawan aturan. Jadi salah satu kuncinya itu adalah penegakan hukum dan harus nyata. Jangan pakai surat tilang kalo gitu itu, tapi denda di tempat," ucapnya.

Adapun denda yang dimaksud sudah jelas ditetapkan dalam aturan sehingga kemudian tidak ada aparat yang bisa untuk dinego oleh para pelanggar di jalan.

"Denda ditempat itu tentu dengan aparat yang konsisten ya, jangan sampai aparatnya juga negotiable (bisa dinegosiasikan). Kalau Aparat negotiable juga percuma," kata Agus.

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU