> >

Profesor Emil Salim: Pembangunan Ekonomi Keliru Arahnya

Wawancara | 12 November 2021, 06:00 WIB
Ekonom senior Profesor Emil Salim saat berbincang dengan Rosiana Silalahi pada program ROSI di KOMPAS TV, Kamis (11/11/2021). (Sumber: Kompas TV)

Sebagai Menteri, Anda harus menghargai bangsa. Apa itu bangsa, Mukadimah Undang-Undang Dasar kita menyebut, maka dibentuk negara, (1) melindungi, (2) mensejahterakan, (3) mencerdaskan, (4) tertib dunia, (5) keadilan sosial,

Itu Raison d’Etre, sebab lahirnya negara dan pemerintah, kita pegang itu.  

Meski masih lama, 2024 itu sudah banyak orang curi start. Menurut Anda  karena Pak Jokowi ini sudah periode terakhir, sosok pemimpin seperti apa yang kita butuhkan?

Jangan hanya sosok yang peduli lingkungan saja. Untuk memilih pemimpin di DPR, partai, orientasi berpikir harus berubah. Dalam berubah itu bukan demi kepentingan pribadi.

Bung Karno sendiri mengatakan kita mendirikan Indonesia karena tak ingin mengikuti ekonomi liberalisme, kita menolak ekonomi terpusat. Kita memilih ekonomi jalan tengah.

Tugas kita menjabarkan apa ekonomi jalan tengah. Maka saya usul, cukong demokrasi ini loh. Kedua, kunci resource development ini loh, ketiga kalau sudah mau bergerak, oke, tapi jangan seluruh anggaran karena banyaknya ketidakpastian, kesehatan Covid, ekonomi dunia, macam-macam.

Kita tidak tahu apa akan ada varian baru. Saya itu, kalau melihat Pak Jokowi itu saya pikir alangkah sulitnya menjadi pemimpin menghadapi ketidakpastian begitu besar.

Pada  2023-2024,  Anda ingin melihat debat politik ,  kampanye politik,  dan figure-figur seperti apa?

Jadi bahasa para politisi masa depan lain dengan yang sekarang. Dampak dari masa depan bukan kita yang menjadi politisi sekarang, tapi generasi berikutnya yang sekarang anak-anak, yang tak bisa bersuara, namun mereka yang mendapat akibatnya.

Kita adalah orang tua, kita punya anak-anak. Kan kita paham, kita sebagai orang tua kan tidak bekerja untuk diri sendiri tetapi juga untuk anak-anak, cucu, macam-macam.

Maka pemikiran sebagai pemimpin bangsa, pemimpin DPR, pemimpin apalah, politik, jangan berpikir kepentingan generasi tua sekarang, tetapi masa depan.

Karena masa depan itu lain, dibandingkan hari ini. Dunia itu berubah. Artifial Inteligence dan Industry 4.5, merubah permainan ekonomi.

Ekonomi Keynes, ekonomi Adam Smith, tidak lagi cocok. Karena ada pasar bebas, ekonomi Keynes dan Adam Smith sudah tidak valid.

Jadi sesuaikan diri dengan tantangan baru dan di belakang kepala selalu melihat ke depan, dan 100 tahun merdeka kita harus lepas landas.

Prof Emil Salim, dengan seluruh pembangunan infrastruktur selama tujuh tahun Pemerintahan Jokowi ke arah mana sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini bergerak?

Kebutuhan infrastruktur oleh Bank Dunia memang Indonesia perlu mengejar ketertinggalan. Kita di bawah Vietnam, dan itu penting.

Tapi infrastruktur itu bukan hanya jalan, kita itu negara kepulauan. Dari Sabang ke Merauke, seperti dari London ke Teheran, dan laut.  Tentu infrastruktur penting. Kalau jalan, pulau yang ada aktivitas, ada penduduk yang penting.

Laut gimana? Angkutan laut. Saya pernah jadi Menteri Perhubungan. Dan di dalam laut itu, Kargo ke timur banyak. Tapi return ke barat tidak ada.

Jadi pengusaha bilang, mereka untung bawa kargo ke timut, tapi dari timur ke barat rugi.

Oleh karena itu dibikin kapal perintis. Jadi infrastruktur tidak hanya jalan untuk Tanah Air kepulauan. Laut tentu ada tol laut maka lebih besar, yang kedua adalah listrik.

Jika pergi ke Indonesia Timur begitu setelah jam 6 semua tutup. Tidak ada listrik. Pergi ke Indonesia Timur pasti baru paham, bahwa persebaran listrik itu belum merata.

Baca Juga: Pemkab Bantul: Guru yang Positif Covid-19 dan Masih Nekat Mengajar Bakal Kena Sanksi

Padahal ada matahari, maka harus PLTU. Kenapa tak gunakan tenaga matahari di Maluku Utara, Papua Barat dan di macam-macam. Itu infrastruktur.

Infrastruktur bukan hanya jalan, tetapi juga listrik, air minum dan lain sebagainuya.

Dan yang maha penting, manusia. Human resources.

Ada pembangunan, kan Presiden Jokowi benar-benar berorientasi pada pembangunan timur.  Ada Trans Papua, ada begitu banyak pembangunan-pembangunan di timur Indonesia?

Trans Papua dari sudut lingkungan menimbulkan pertanyaan, karena membuka areal-areal, yang bagi penduduk lokal sangat penting untuk dijaga.

Contohnya, penduduk lokal hidup dari pohon-pohon sagu, papeda, ditebang untuk tanam padi.

Sagu adalah karbohidrat, padi adalah karbohidrat. Substitusi karbohidrat A ke B. Tapi konsumennya lain.

Ini penduduk lokal, ini penduduk pendatang. Jadi orang berpikir ini pembangunan untuk siapa.

Saya setuju dengan infrastruktur, tetapi tanya dulu, lihat dulu, infrastruktur mana yang lebih penting.

Kalau kita di Papua, untuk mengambil gaji guru, guru itu jalan kaki untuk pergi ke Kabupaten mengambil upahnya dan kembali ke daerahnya.

Tetapi itu urusannya daerah. Kenapa tidak dengan daerah, kita dorong ke atas pembangunan di Papua, bukan ke bawah.

Infrastruktutr saya setuju. Intinya adalah, pertama bagaimana membangun infrastuktur, kedua  untuk siapa, ketiga  apa sesuai dengan daya dukung lingkungan, karena ingat pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan.

Jadi jangan hanya meningkatkan PDB (Product Domestic Bruto), tetapi jika PDB naik, lingkungan babak belur, sosial tidak diangkat, bukan pembangunan itu.

Banyak orang memuji Presiden Jokowi dengan infrastrukturnya. Tadi  Anda memberikan catatan kritis tentang  pembangunan infrastruktur.  Yang paling baru adalah kereta api cepat Jakarta-Bandung. Ada catatan mengenai ini Prof?

Mengenai kereta api cepat, saya cemas dengan cara keputusan diambil oleh Menteri BUMN, bukan ahli PJKA (sekarang PT KAI, red). Tapi beliau membawahi PJKA, jadi diperintah ya jalan.

Kereta api masuk PJKA yang ada ahli-ahlinya. Salah satu ahli yang berhasil mengembangkan PJKA adalah Menteri Perhubungan.

Kenapa tidak berkonsultasi, antara Menteri BUMN yang tak mengerti kereta api dengan Menteri Perhubungan yang merupakan Dirut Kereta Api? Saya kaget betul ketika saya cek ke Menteri Perhubungan.

Menteri perhubungan periode pertama Pak Jokowi, Ignasius Jonan.

Beliau mengundang mantan menteri-menteri perhubungan, tukar pikiran.

Saya tanya, kenapa begitu. Beliau ternyata tak dikonsultasikan oleh Menteri BUMN.

Saat itu ibu Rini Soemarno (Menteri BUMN)...

Jadi, bagaimana pengambilan keputusan itu. Bagaimana wewenang dipakai membangun sesuatu yang tak dikuasai. Sedangkan ada Menteri Perhubungan yang paham mengenai itu.

Untuk Jakarta-Surabaya, ada pembicaraan dengan Jepang untuk kereta api cepat jarak jauh.

Jika ada untuk jarak jauh, untuk apa jarak dekat.

Poin saya adalah Menteri BUMN memang betul punya wewenang, tetapi please jangan wewenang demi mengganggu rasionalitas dari sistem kereta api.

Bagaimana kalau pembangunan infrasturktur itu, yang seperti kita katakan kereta api cepat Jakarta-Bandung, itu bagian keinginan dari Presiden karena memiliki multi-player effect? 

Pak Presiden harus logis, saya bisa mengerti keinginan setinggi langit tapi tetap harus logis.

Tapi kewajiban kita sebagai pembantu Presiden melindungi Presiden dari keputusan yang keliru.

Jadi jika ini tidak visible harus berani katakan, “Bapak Presiden ini tidak visible”, begitu?

Jadi, pertanyaan pertama, mengapa Menteri Perhubungan tidak terlibat, pertanyaan kedua, mengapa Menteri BUMN tidak paham memutuskan sesuatu yang tidak ia kuasai, pertanyaan ketiga, pembiayaan adalah kredit.

Bicara kredit kita masuk ke dampak finansial yang dampak ekonominya dipikul oleh ibu Menteri Keuangan.

Jadi, ini Menteri BUMN mengambil keputusan dampaknya pada Menteri Keuangan melalui kredit, dampaknya ke Menteri Perhubungan, dan mereka tidak tahu.

Yang ketiga, Bappenas juga tidak tahu. Dengan demikian memang ini keinginan Presiden, tapi tugas kita sebagai pembantu Presiden melindungi Presiden, bukan kita berlindung di bawah bahwa itu keinginan Presiden.

Presiden itu manusia, apa beliau memiliki informasi yang lengkap? Keputusan akhir adalah fungsi dari pekerjaan staf yang lengkap.

Ada staf yang lengkap maka akan menjadi sebuah keputusan yang baik. Sering sekali dibilang Presiden maunya begitu, apa Presiden tak tahu apa implikasinya.

Jadi Anda  sering gusar jika ada menteri yang bilang ini maunya Presiden?

Gemes saya, sebagai pembantu Presiden engkau menjerumuskan Presiden. Apa itu yang engkau kehendaki, apa itu agenda di kepalamu?  Saya tidak suka itu, saya lebih suka jujur.

Bapak, saya sebagai bekas Menteri Perhubungan merasa ini tidak akan bekerja, lebih-lebih lagi dengan kredit luar negeri di dalam keadaan Covid, yang ibu Sri Mulyani pusing memikirkan financing-nya.

Dan sekarang (Kereta Api Cepat) akan dibiayai APBN ?

APBN bagaimana? Orang bilang APBN. APBN itu kan uang pajak, uang negara. Nomor satu untuk Covid, yang kedua rehabilitasi ekonomi. Rakyat banyak yang pengangguran akibat Covid.

Prof, apakah visi Presiden untuk pemerataan pembangunan tidak tepat untuk pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

Obyektif ya, saya baca laporan ketua Bappenas. Ada Putrajaya pinda dari Kuala Lumpur di Malaysia. Ada Brasilia pindah, ada Canberra juga pindah. Kenapa tidak. Kenapa Indonesia tidak?

Terus saya tanya, apakah pindahnya Putrajaya menyumbang pembangunan lebih tinggi ketimbang di Kuala Lumpur? Apakah pembangunan Brasilia mendorong pembangunan Brasil? Apakah pembangunan Canberra mendorong pembangunan Australia?

Obyektif, jangan kita memiliki argumen tanpa data statistik.

Tapi argumennya juga Jakarta sudah kepenuhan Prof?

Sekarang persoalan Jakarta lain. Persoalan Jakarta karena akan menghadapi naiknya permukaan laut.

Sehingga, tanah Jawa utara sendimennya mulai tenggelam. Maka, pulau jawa mulai tenggelam. Laut Jawa naik, makanya terjadi banjir Rob, bukan hanya Jakarta tetapi seluruh Jawa bagian utara.

Ini masalah tersendiri, ini perlu uang. Jangan keluar dari sini karena masalah ini. Ada masalah ini kita tangani.

Bukan menjawabnya dengan pindah Ibu Kota?

Jadi perbaiki Jakarta, atasi ancaman permukaan laut dengan membangun waduk lepas pantai.

Kalau kembali ke pemindahan Ibu Kota Negara, kenapa Anda  kurang setuju?

Kita dalam krisis Covid, post-Covid. Uang itu berharga, dalam kondisi ekonomi yang tak menentu. Kita tidak tahu apa ada gelombang ketiga dari Covid dan sebagainya.

Jadi, ketidakpastian kesehatan Covid, ketidakpastian ekonomi global besar. Jika Anda Menteri Keuangan menghadapi ketidakpastian itu apa pola pikir Anda?

Menciptakan reserve, untuk mengatasi gelombang-gelombang yang kita tidak tahu dating atau tidak. Maka uang ini terbatas, karena Covid ekonomi tidak naik.

Bagaimana jika uang itu tak membebani APBN, tapi dari investasi? Misalnya kemarin di Dubai, Presiden mengatakan secara khusus mengenai pemindahan Ibu Kota Negara, dan menarik para investor Uni Emirat Arab untuk berinvestasi di Kalimantan Timur?

Tidak ada negara yang memberi sesuatu gratis di dunia. Apa terms-nya? Apa syaratnya? Tahukah kita.

Bisakah kita ilmuwan, kritis melihat kaki kita di tanah. Negara mana di dunia yang rela, ikhlas, rela kasih uang tanpa ada imbalan. Apa syaratnya? Itu tidak tahu.

Tapi setiap Menteri Keuangan, setiap ekonom kenal dengan opportunity cost. Artinya uang saya ini buat beli rokok, tidak bisa untuk beli telur. Jadi mengorbankan telur buat beli rokok. Membangun A, mengorbankan X.

Apakah itu X, Covid, rehabilitasi ekonomi dan pembangunan pemuda.

Indonesia pada 2045, bukan generasi sekarang, tetapi generasi yang lahir setelah tahun 2000. Itu anak-anak sekarang.

Jadi Prof,  jika Saya ingin dapat klarifikasi dari Anda sekarang, soal pemindahan Ibu Kota Negara itu,  Prof tidak setuju karena timing-nya atau  tidak setuju sama sekali?

Saya mengerti, psikologis saya paham. Ada hal-hal yang mendorong Jokowi melakukan itu. Jika begitu, bagaimana jika definisi Ibu Kota Negara kita ubah.

Bukan seperti yang disebut dalam Undang-Undang. Istana, DPR, Pemerintahan, Departemen, Markas ABRI, semua pegawai negeri pindah di sana, dan beroperasi dalam 4 tahun ini, sah jadi Ibu Kota Negara.

Bukan main, besar ini. Bisa tidak kita ubah definisi Ibu Kota Negara yang manageable dari sudut keuangan, tetapi jangan paksakan Menteri Keuangan yang masih menghadapi ketidakpastian yang begitu besar.

Yang kedua, menghadapi generasi muda yang sekarang mengalami education loss. Tetapi, jika education loss menerus, kita akan mengalami generation loss.

Dan dampaknya 2045, saya mungkin sudah tidak ada. Tetapi generasi yang akan memimpin bangsa ketinggalan dalam pendidikan.

Indonesia 2045, 100 tahun, sekali dalam hidup suatu bangsa harus lepas landas.

Di dalam ekonomi ada tahapan, tahapan poor country ke middle income country. Middle income country ada low dan high, dari midle income country ke high income county.

Tahun 1986, Indonesia keluar dari low income country, menjadi low middle income.

Ada swasembada pangan, pendidikan maju, KB dan sebagainya. Dari 1986, ke sekarang terus ke 2045, harus naik ke high middle income dan ke low high income.

Jadi pembangunan lebih kompleks, di dunia yang lebih kompetitif.

Ekonomi tidak bisa lepas dari perkembangan dunia, jika kita masih berada di posisi middle income low maka akan sulit.

Jadi banyak sekali yang perlu saya meminta bapak-bapak kita untuk mencegah generation lost. Maka persoalan lingkungan, saya lihat dari kacamata ini, dunia 2045 adalah dunia ekonomi sosial lingkungan yang harus maju.

Lingkungan perubahan iklim, lingkungan muka laut naik. Bukan Amerika, Eropa, China yang rugi.

Yang rugi jika perubahan iklim dan lingkungan muka laut naik, adalah Indonesia sebagai negara kepulauan.

Yang saya mohon perhatian kepada bapak pemimpin, generasi muda yang paling berkepentingan pada 2045.

Jadi, jika Indonesia sekarang memutuskan bahwa net zero emission dari green house gas untuk mengendalikan cuaca, Indonesia mungkin pada 2050 atau 2060, yang menjadi korban yang berpikir memutuskan itu, tetapi generasi muda yang menjadi pemimpin.

Pembangunan itu bukan untuk hari ini, bukan untuk prestasi kabinet ini, tetapi masa depan bangsa.

Saya tidak menentang Pemerintahan Jokowi, tetapi masa depan menghendaki pembangunan berkelanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Terakhir Prof Emil, apa imajinasi Anda soal lepas landas di 2045 di Indonesia?

Indonesia diberkahi Tuhan, Tropical Rain Forrest yang kaya. Lautan Hindia, Pasifik, bertebaran ikan-ikan. Kaya laut kita. Kenapa nelayan kita miskin? Kenapa benur harus diekspor ke Vietnam?

Kemampuan bangsa harus kita bangun, memanfaatkan kekayaan alam yang paling kaya di dunia ini.

Mengapa petani kita miskin? Mengapa nelayan kita miskin? Di tengah-tengah kekayaan alam.

Mengapa konglomerat yang besar justru mereka yang merusak lingkungan. Jadi ada kontradisksi dalam hal ini.

Saya melihat bisa diperbaiki Tanah Air ini, sehingga nelayan menjadi makmur, rakyat kita makmur, dengan value added, nilai tambah, sumber daya alam dan otak.

Kecerdasan otak dan pendidikan generasi muda digabungkan untuk naikkan, sehingga 2045, kekayaan alam kita jadikan senjata untuk menaikkan kesejahteraan bangsa dengan ilmu kita, bangsa sendiri.

Saya selalu terpesona dengan ucapan Bung Karno, bahwa kita tak boleh menjadi negara kuli.

Maka kuli itu adalah orang yang kurang terpelajar, mari bangsa Indonesia jangan menjadi bangsa di antara 64 terendah, naikkan, sehingga gengsi bangsa, kehormatan bangsa setingkat dengan mereka yang maju.

Penulis : Haryo Jati Editor : Iman-Firdaus

Sumber : ROSI Kompas TV


TERBARU