> >

Indonesia Dilanda Cuaca Ekstrem, Berikut Kendala Mitgasi dan Ancaman Tsunami di Beberapa Wilayah

Peristiwa | 20 September 2021, 13:00 WIB
ILUSTRASI: Reruntuhan barang-barang yang berserakan usai tsunami Pangandaran, Jawa Barat. (Sumber: atrockkomunitas.blogspot.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati berharap,  pemerintah daerah bisa lebih siap dan sigap dalam upaya memperkuat mitigasi bencana di Indonesia.

Hal itu disampaikan Dwikorita menyusul fenomena cuaca, iklim dan tektonik di Indonesia yang semakin dinamis, kompleks, tidak pasti dan makin ekstrem seperti akhir-akhir ini.

Kata Dwikorita, mitigasi ataupun sistem peringatan dini tak akan efektif bila hanya dilakukan oleh satu lembaga saja. Sistem peringatan dini harus dioperasikan dengan kolaborasi yang holistik, terintegrasi, menerus, dan berkelanjutan. 

Cara kerja tersebut, lanjut Dwikorita, hanya bisa dilakukan dengan andil berbagai pihak/lembaga dari pusat hingga ke daerah. Dan ini sejalan dengan amanah Perpres no 93 tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS).

Baca Juga: Kepala BMKG Sebut 5 Wilayah Ini Berpotensi Alami Tsunami Nontektonik Tercepat

BMKG sendiri terus meng-upgrade sistem peringatan dini agar manajemen kebencanaan yang terdiri dari upaya pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, dan recovery yang ditangani oleh banyak instansi di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dapat berjalan sinergis, holistik, efektif dan berkelanjutan.

"Sistem Peringatan Dini ini terdiri dari bagian Hulu dan bagian Hilir. Bagian Hulu dikoordinasikan oleh BMKG di Pusat, fokus pada hal teknis untuk menangani monitoring dan processing data, analisis/modelling dan disseminasi informasi ke BNPB, TNI, Polri dan Media, serta terutama ke Pemerintah Daerah/BPBD," terang Dwikorita dilansir dari laman resmi BMKG, Senin (20/9/2021).

Sedangkan bagian hilir, lanjut dia, dikoordinasikan oleh BNPB dengan fokus meneruskan informasi BMKG yang sudah diterima BPBD atau Pusdalops, kemudian secara seketika oleh BPBD disebarkan ke warga masyarakat yang terdampak di hilir.

Ancaman Gempa dan Tsunami

Mitagasi bencana dan peringatan dini tersebut dinilai sangat krusial di Indonesia. Terlebih, karena hampir seluruh wilayhnya di atas ancaman gempa dan tsunami.

Dwikortita menyebut salah satu bencana yang mengintai beberapa wilayah di Indonesia adalah fenomena tsunami non tektonik yang terjadi beberapa kali terakhir.

Meskipun, berdasarkan pencatatan BMKG, lebih dari 90 persen tsunami diakibatkan oleh fenomena tektonik atau kegempaan. Karenanya, sistem peringatan dini yang terbangun dan beroperasi saat ini masih terbatas untuk Peringatan Dini Tsunami Tektonik yang dibangkitkan oleh gempabumi saja.

Kata Dwikorita, Tsunami di Pandeglang, Selat Sunda, Banten, yang terjadi tahun 2018 lalu adalah salah satu contoh tsunami non tektonik. Tsunami itu terjadi akibat longsor lereng gunung ke laut, yang dipicu erupsi Gunung Api Anak Krakatau, bukan karena gempabumi.

Terbaru, kata Dwikorita adalah saat terjadinya gempa bumi magnitudo 6,1 di Pulau Seram Maluku Tengah. Gempa yang terjadi 16 Juni 2021 itu, mengakibatkan longsor lereng pantai sehingga berdampak tsunami dengan kenaikan muka air laut sekitar 50 cm.

"Umumnya gempa bumi dengan magnitudo 6.1 di laut dekat pantai belum mampu membangkitkan tsunami, namun ternyata mampu mengakibatkan longsor pantai ke laut pada lereng pantai dengan bathimetri curam, dan akhirnya memicu tsunami kecil," tambah Dwikorita.

Pada keterangan sama, Dwikorita menyebut sejumlah wilayah Indonesia yang berpotensi mengalami tsunami nontektonik, antara lain: Selat Sunda, Kota Palu Sulawesi Tengah, Pulau Seram Maluku Tengah, juga beberapa titik di Wilayah Indonesia Tengah dan Timur, termasuk Pulau Lembata Nusa Tenggara Timur.

Baca Juga: Pacitan Rawan Tsunami, Ini Evakuasi Mandiri yang Perlu Masyarakat Pahami

Wilayah-wilayah tersebut banyak memiliki gunung api laut, palung laut atau patahan darat yang melampar sampai ke laut, sehingga berpotensi mengakibatkan tsunami non tektonik atau atypical, dengan waktu datang gelombang tsunaminya 2 sd 3 menit atau disebut juga tsunami cepat, mendahului berbunyinya sirine peringatan dini.

Sejarah mencatat, bencana alam tsunami non tektonik yang menelan korban jiwa sangat besar pernah terjadi sekitar 8 kali, yaitu Tsunami G. Gamkonora (1673), Tsunami G. Gamalama (1763), Tsunami G. Gamalama (1840), Tsunami Gunung Awu (1856), Tsunami Gunung Ruang (1871), Tsunami G. Krakatau (1883), Tsunami G. Rokatenda (1928), dan Tsunami Waiteba NTT akibat longsor tebing pantai (1979).

Kondisi di Lapangan

Dari itu, kata Dwikorita, penyempurnaan dan inovasi yang dilakukan BMKG dalam sistem peringatan dini tsunami menjadi sebuah keharusan mengingat beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki potensi kejadian serupa.

Namun, Dwikorita mengatakan secara jujur bahwa sampai saat ini belum ada negara yang memiliki sistem Peringatan Dini Tsunami non tektonik yang handal, cepat, tepat dan akurat.

Teknologi dan pemodelan tsunami yang ada kebanyakan berdasarkan perhitungan/analisis terhadap aktivitas tektonik atau kegempaan (Earthquacke Centris).

Adapun fact finding di lapangan, Dwikorita juga menemukan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya memperkuat sistem peringatan dini gempa dan tsunami.

Diantaranya, jam operasional BPBD Kabupaten/Kota yang belum semua beroperasi 24 jam 7 hari. Akibatnya, tidak jarang pesan peringatan dini yang dikirim oleh BMKG pusat ke pemerintah daerah (BPBD) tidak tersebar luas secara massif ke masyarakat.

"Padahal, Tidak jarang kejadian bencana alam diluar jam kerja kantor. Habis magrib, dini hari, atau saat akhir pekan. Jadi, idealnya memang BPBD beroperasi full selama 7 hari 24 jam, sesuai dengan amanah di dalam Perpres no 93 tahun 2019, agar pesan peringatan dini dari BMKG tidak terputus di tengah jalan," jelasnya.

Untuk diketahui, BMKG hanya bertugas dalam penyampaian data dan informasi kepada pemerintah daerah (BPBD) dan stakeholder terkait. Sementara diseminasi dan amplifikasi informasi ke masyarakat merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Baca Juga: Siaga Tsunami Pacitan 28 Meter yang Diestimasikan Tiba 29 Menit, Ini Saran BMKG

"Untuk memastikan informasi BMKG benar-benar telah diterima BPBD yang selanjunya diteruskan kepada masyarakat, kami perlu melakukan sinergi dan koneksitas dengan pemerintah daerah (yaitu dengan Pimpinan Daerah, BPBD dan Kamtibmas di daerah) secara rutin dan intensif, melalui Stasiun-Stasiun/Kantor-Kantor BMKG di Daerah," ungkapnya.

Kendala Penyebaran Informasi Peringatan Dini

Menurut Dwikorita, sistem komunikasi yang mendukung penyebarluasan informasi, juga masih cukup rentan dan sangat mahal. Ia mencontohkan, saat terjadi gempa bumi di Palu tahun 2018 lalu, sistem komunikasi lumpuh total akibat robohnya BTS karena gempa.

Alhasil, peringatan dini tidak dapat tersebar ke masyarakat di daerah terdampak. Data monitoring muka laut di daerah terdampak tidak dapat terkirim atau terbaca. Padahal, data tersebut sangat diperlukan dalam monitoring dan verifikasi dan konfirmasi peringatan dini.

Kendala lain kata Dwikorita, karena penyebaran informasi dari BMKG ke pemerintah daerah diback-up dengan jaringan komunikasi satelit. Padahal, cara tersebut memakan biaya yang cukup mahal karena masih terkena tarif komersil.

Idealnya, kata Dwikorita, diperlukan sistem satelit khusus untuk mitigasi/pencegahan bencana yang bebas tarif.

"Saat ini kami masih berupaya untuk mewujudkan hal tersebut, dengan terus menjalin komunikasi dan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo," kata dia.

Kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya sirine peringatan dini tsunami yang mati total alias tidak berfungsi. Selain karena faktor usia, tidak berfungsinya sirine tersebut akibat pemerintah daerah kesulitan anggaran untuk melakukan pemeliharaan yang memadai.

"Yang tidak berfungsi jumlahnya mencapai puluhan lebih. Usianya juga sudah lebih dari 10 tahun, dan memang seharusnya sudah diganti, sudah dilaporkan ke BNPB dan Kementerian Dalam Negeri/ Pemerintah Daerah," ungkap Dwikorita.

Kata Dwikorita, sirine tsunami dibangun dengan harga yang cukup mahal oleh BNPB yang kemudian dihibahkan kepada pemerintah daerah untuk dioperasikan dan dipelihara.

BMKG sendiri telah memasang sebanyak 52 sirine sepanjang 2008 - 2015. Dari jumlah itu, 6 sirene telah dihibahkan ke Pemprov Sumbar dan 9 sirene ke Pemprov Bali.

Keberadaan sirine sangat penting, karena merupakan salah satu cara mitigasi tsunami, selain peta bahaya tsunami, peta vvakuasi serta sarana prasarana evakuasi seperti jalur evakuasi, rambu evakuasi, dan shelter tempat pengungsian.

Tapi karena keterbatasan pemerintah daerah dalam pemeliharaan sirine dan kendala peringatan dini untuk tsunami cepat (tsunami atypical atau non tektonik), maka BMKG bersama BNPB, pemerintah daerah dan Pihak Terkait, berupaya melakukan mitigasi dengan pendekatan edukatif. 

Tujuannya, agar masyarakat mampu melakukan evakuasi mandiri tanpa tergantung sirine, dengan menjadikan guncangan tanah yang dirasakan sebagai alarm peringatan dini.

"Semoga fakta ini bisa menjadi perhatian bersama, terutama Pemerintah Daerah untuk juga turut mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih matang, guna meminimalisir dampak korban jiwa dan kerugian materil akibat gempa bumi dan tsunami," pungkas Dwikorita.

Baca Juga: BMKG: Banjir Bandang Berpotensi Terjadi di 19 Daerah Hari Ini, Senin 20 September

Penulis : Hedi Basri Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/BMKG


TERBARU