> >

Trauma Masyarakat Papua pada Aparat, Anggota DPD: Korban Paling Banyak Warga Sipil

Sosial | 5 Mei 2021, 20:44 WIB
Dua unit rumah yang terbakar di Kabupaten Puncak, Papua. Masyarakat sipil menjadi korban kontak senjata antara aparat TNI dengan kelompok separatis bersenjata. (Sumber: Istimewa via Tribunnews.com)

MANOKWARI, KOMPAS.TV - Mamberob Yoshepus Rumakiek, Anggota DPD RI daerah pemilihan Papua Barat mengatakan, label ‘teroris’ bagi KKB dapat menimbulkan trauma berkepanjangan untuk masyarakat Papua.

Hal ini ia ungkapkan dalam diskusi bertajuk “Stop Pelanggaran-Pelanggaran HAM, Papua Damai” di kanal Youtube DPD GAMKI Jakarta, Rabu (5/5/2021).

Menurut Mamberob, pelabelan KKB sebagai teroris itu tidak akan menyelesaikan konflik di Papua.

Baca Juga: Solusi Konflik Papua, Komnas HAM Sebut Presiden Jokowi sampai Panglima TNI Setuju Jalan Damai

“Status teroris seperti ini hanya melahirkan trauma berkepanjangan dan tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Kalau mau membangun Papua, saya kira pendekatannya bukan pendekatan keamanan,” kata Mamberob.

Ia membeberkan, pendekatan keamanan lewat pengerahan tentara ke Papua selama ini telah gagal menyelesaikan konflik.

“Dari saya masih kecil sampai hari ini saya jadi anggota parlemen, kelompok bersenjata selalu ada di tanah Papua tidak bisa selesai. Dari Papua berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) hingga hari ini tidak juga selesai. Malah eskalasi kekerasan meningkat dengan terjadinya kontak tembak antara kelompok bersenjata dengan aparat keamanan,” tutur Mamberob.

Akibat kontak tembak antara kelompok separatis bersenjata dengan aparat TNI itu, warga sipil di Papua pun menjadi korban.

“Korban paling banyak adalah warga sipil yang tidak sama sekali terlibat, tidak sama sekali membawa senjata,” ujar Mamberob.

“Antara lain anak yang pulang sekolah ditembak di jalan. Itu juga tidak diselesaikan sampai hari ini. Dan masih banyak kasus lagi,” imbuhnya.

Mamberob mengaku, masyarakat Papua sudah mengalami banyak trauma karena berbagai kontak senjata antara aparat TNI dengan kelompok separatis.

“Karena pasti ada trauma. Peristiwa 1996 ketika terjadi penyanderaan di Kabupaten Nduga itu operasi pembebasan sandera juga memakan korban warga sipil yang begitu banyak,“ beber Mamberob.

Baca Juga: Dulu, 3 Cara Ini Dilakukan Gus Dur untuk Selesaikan Konflik di Papua

Saat itu, kata Mamberob, aparat TNI hendak membebaskan sandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) lewat operasi udara dengan helikopter.

“Masyarakat begitu percaya bahwa mereka akan ditolong, ternyata mereka ditembak dari helikopter itu. Jadi operasi pembebasan sandera itu meninggalkan trauma yang mendalam sampai hari ini,” ungkap Mamberob.

Bagi Mamberob, label teroris ini berarti akan membuat TNI makin agresif mengejar kelompok bersenjata di Papua.

Ia khawatir, hal ini akan berakhir seperti peristiwa di Nduga tahun 1996.

“Hari ini sudah banyak yang memberi informasi bahwa telah terjadi pengungsian besar-besaran akibat ada pengejaran pelaku penembakan atau kelompok bersenjata,” ujarnya.

Senada dengan itu, Pater Bernadus Bofitwos Baru, pemuka agama di Papua Barat pun mengatakan ada trauma di tengah orang Papua pada aparat.

Bernadus menyebut, warga Papua tahun lalu juga khawatir saat TNI mendirikan Kodim dan Koramil baru di Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Tambrauw.

“Dengan pendirian pos-pos itu, tentunya masyarakat merasa cemas, merasa takut dan kuatir kalau mereka membicarakan soal hak-haknya, hak-hak masyarakat adat, soal tanah mereka atau apa,” beber Bernadus.

Baca Juga: Organisasi Advokat Peradi Pergerakan Nilai Pelabelan Teroris KKB Tidak Sesuai UU Terorisme

“Itu pengalaman-pengalaman yang justru masyarakat, orang-orang Papua pada umumnya trauma dan takut kalau ada pihak keamanan,” imbuhnya.

Bernadus juga mengkritik cara pemerintah selama ini memutuskan kebijakan di Papua tanpa dialog terlebih dahulu dengan masyarakat setempat.

“Masyarakat antisipasi kalau akan ada pihak keamanan ke situ. Apakah mereka betul-betul membawa keamanan atau justru menciptakan konflik baru. Karena proses dialognya, proses untuk diskusi keputusan itu sepihak, dari atas ke bawah,” pungkas Bernadus.

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU