> >

BPOM Jelaskan Efek Samping Vaksin Nusantara, dari Nyeri Otot sampai Mual

Update corona | 16 April 2021, 10:46 WIB
Kepala Badan POM Dr. Penny Lukito umumkan BPOM memberi ijin penggunaan darurat vaksin CoronaVac buatan Sinovac pada 11 Januari 2021. (Sumber: Kompas TV Live)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Vaksin Nusantara tengah menjadi perbincangan hangat hingga hari ini. Pasalnya, vaksin tersebut menuai pro-kontra bukan hanya dari masyarakat tetapi juga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

Melansir dari Kompas.id (16/4/2021), Kepala Badan POM Penny K Lukito menjabarkan bahwa hasil pengujian Vaksin Nusantara belum memadai. Hal itu meliputi keamanan vaksin, kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi, serta bukti mutu produk vaksin.

Dalam inspeksi tersebut ditemukan beberapa hal yang tidak sesuai kaidah antara lain, produk vaksin dibuat dalam kondisi tidak steril, metode pengujian tidak dilakukan validasi dan standardisasi, serta adanya inkonsistensi pencatatan data.

Subjek yang seharusnya tidak masuk dalam kriteria inklusi, seperti sudah memiliki antibodi, tetap diikutkan dalam penelitian.

Baca Juga: BPOM dan IDI Minta Vaksin Nusantara Penuhi Prosedur Uji Klinis

Hal lain yang juga mendapatkan perhatian yakni ada temuan kejadian yang tidak diinginkan dari subyek dalam uji klinik tahap pertama. Sebanyak 20 dari 28 subjek pengujian atau sebesar 71,4 persen mengalami kejadian tidak diinginkan dalam tingkat 1 dan 2, seperti nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, kemerahan, gatal, demam, batuk, pilek, lemas, dan mual.

Di sisi lain, sebanyak enam subyek riset mengalami kejadian tidak diinginkan tingkat 3, seperti hypernatremia (kadar natrium yang tinggi dalam darah), peningkatan kadar ureum dalam darah (blood urea nitrogen), serta kolesterol.

”Kejadian yang tidak diinginkan grade 3 merupakan salah satu pada kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik yang tercantum pada protokol uji klinik, tetapi berdasarkan informasi tim peneliti saat inspeksi yang dilakukan Badan POM, tidak dilakukan penghentian pelaksanaan uji klinik,” jelasnya .

Data yang diterima Badan POM juga menyebutkan, semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini diimpor dari AS, seperti antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan.

Baca Juga: BPOM: 20 Relawan Vaksin Nusantara Alami Efek Samping

 

”Jika akan dilakukan transfer teknologi dan dibuat di Indonesia, maka membutuhkan waktu lama. Sebab, sampai saat ini industri farmasi yang bekerja sama dengan Aivita Biomedica Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi dan membutuhkan waktu dua sampai lima tahun untuk mengembangkan di Indonesia,” tutur Penny.

Selain itu, dari hasil inspeksi yang dilakukan Badan POM, pengembangan vaksin tersebut juga belum sesuai dengan kaidah cara produksi yang baik (good manufacturing practices/GMP), cara berlabolatorium yang baik (good laboratory practice/GLP), dan cara uji klinik yang baik (good clinical practice/GCP).

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU