> >

Ini Alasan KPK Baru Tahan RJ Lino Setelah 5 Tahun Ditetapkan Tersangka

Hukum | 27 Maret 2021, 10:35 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino alias RJ Lino setelah 5 tahun ditetapkan tersangka. (Sumber: Ilham Rian/Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Richard Joost Lino atau RJ Lino setelah 5 tahun ditetapkan tersangka.

KPK menyebut bahwa lamanya penyidikan terhadap mantan Direktur Utama PT Pelindo II itu disebabkan adanya proses perhitungan kerugian keuangan negara.

RJ Lino sendiri ditetapkan tersangka atas kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit "Quay Container Crane" (QCC) di PT Pelindo II pada Desember 2015 lalu.

Baca Juga: 5 Tahun Jadi Tersangka Korupsi di PT Pelindo II, Kini RJ Lino Ditahan KPK

"Ini memang perkara yang tiap RDP (Rapat Dengar Pendapat) selalu ditanyakan oleh teman-teman di Komisi III,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Jumat (26/3/2021).

“Selalu kami sampaikan bahwa kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara di mana BPK itu meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat tersebut dan itu sudah kami upayakan baik melalui Kedutaan China," ucap Alex.

Alex pun mengungkapkan bahwa inspektorat dari China pernah menyambangi KPK dan pada saat itu juga disampaikan bahwa KPK membutuhkan harga QCC yang dijual oleh HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM).

Bahkan, kata dia, dua pimpinan KPK periode sebelumnya yakni Agus Rahardjo dan Laode M Syarif sempat ke China.

"Jadi waktu itu ada inspektorat dari China ke KPK, itu juga sudah kami sampaikan kami membutuhkan berapa sih sesungguhnya harga QCC tersebut yang dijual oleh PT HDHM,” ungkap dia.

“Bahkan Tahun 2018, Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu menteri atau jaksa agung tetapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," kata Alex.

Baca Juga: KPK Tahan Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino

Di sisi lain, Alex menyebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuntut tetap ada dokumen atau data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara.

"Penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC atau setidaknya harga pembanding, misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara," ucap Alex.

KPK, kata dia, tetap minta BPK menghitung kerugian negara dan hasilnya disampaikan bahwa BPK mendapatkan penghitungan kerugian negara dalam hal pemeliharaan QCC.

"Sedangkan alatnya sendiri penghitungan kerugian negara, BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding," ucap Alex.

Alex menyatakan KPK menggunakan ahli dari ITB untuk menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) dari QCC tersebut.

"Memang dalam menghitung kerugian dalam akuntansi itu ada yang disebut "histories cost". Itu biasanya didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut, termasuk harga pembanding,” kata Alex

“Ada juga metode lain, yaitu menghitung "replacement cost". Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri, kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa," tutur dia.

Baca Juga: 4 Tahun Berselang, RJ Lino, Mantan Dirut Pelindo II Akhirnya Kembali Diperiksa KPK

Bantah Ada Kerugian Negara

Sementara itu, RJ Lino membantah adanya kerugian negara sebesar lebih dari 22 ribu dollar Amerika Serikat.

Lino menyebut bahwa dalam lelang pembelian crane pihaknya melakukan penunjukan langsung karena harga yang lebih murah.

"Angkanya itu 500.000 dolar lebih mahal daripada saya nunjuk langsung. Jadi kalau BPK itu fair, mereka harusnya isi itu, nggak ada kerugian negara. Lelang lebih mahal 500.000 dolar daripada nunjuk langsung," katanya.

Kini RJ Lino bakal menjalani masa tahanan pertamanya selama 20 hari ke depan setelah sempat melenggang bebas selama lebih dari lima tahun pasca ditetapkan sebagai tersangka.

RJ Lino ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung Merah Putih KPK.

Penulis : Fadhilah Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU