> >

Ini Alasan Mengapa Tingkat Kesopanan Warganet Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara

Viral | 27 Februari 2021, 13:51 WIB
Ilustrasi menggunakan ponsel. (Sumber: Unsplash/Priscilla Du Preez)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Laporan Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft belakangan ini ramai dibicarakan publik lantaran menyebutkan tingkat kesopanan warganet Indonesia di urutan terbawah se-Asia Tenggara.

Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil survei yang diikuti oleh 16.000 responden dari 32 wilayah, dimana 503 di antaranya merupakan responden asal Indonesia.

Tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, dimana semakin tinggi angkanya, semakin buruk tingkat kesopananya.

Bahkan, akibat laporan tersebut, akun Instagram resmi Microsoft terpaksa menutup kolom komentar lantaran warganet Indonesia ramai-ramai menuliskan komentar bernada negatif.

Lantas apa penyebab tingkat kesopanan warganet Indonesia terburuk se-Asia Tenggara?

Baca Juga: Studi Microsoft: Tingkat Kesopanan Warganet Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara

Gambaran kondisi warganet Indonesia

Pengamat media sosial dan founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, berpendapat bahwa laporan tersebut merupakan gambaran terkini pengguna internet Indonesia.

Fahmi menyoroti kontribusi pengguna usia dewasa yang membuat kemunduran kesopanan paling banyak dengan presentase 68 persen.

"Yang menarik, kalau dilihat itu kan kenapa yang anak muda jauh lebih baik daripada yang dewasa. Nah, ini barangkali bisa menjawab kenapa kok kita jadi parah banget di media sosial," kata Fahmi, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (27/2/2021).

Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pengguna internet di usia remaja kebanyakan sudah melek digital.

Ia juga mengatakan bahwa pengguna usia remaja tidak terlalu menaruh perhatian di isu politik.

Baca Juga: Najwa Shihab Akui Tak Pernah Takut Terbebani untuk Menjaga Pamor Quraish Shihab

Menurutnya, pengguna remaja lebih banyak yang menaruh perhatian di kultur pop Korea Selatan alias K-Pop yang dinilai banyak melakukan interaksi internasional.

“Nah di K-Pop itu kan interaksinya internasional, enggak hanya dengan teman-temannya di Indonesia saja, artinya budaya internasional itu kebawa," ujar Fahmi.

"Net-tiquette (kesopanan berinternet) nya kan kebawa. Mungkin anak-anak muda ini lebih banyak terpengaruh budaya luar ya, yang lebih menghargai," kata dia.

Sementara itu, kata Fahmi, pengguna usia dewasa menurut pengamatannya bisa lebih bebas berpendapat lantaran adanya polarisasi yang mewarnai interaksi antar pengguna media sosial di Indonesia.

"Polarisasi itu bisa karena politik, bisa karena agama, dan biasanya orang kalau sudah merasa benar dengan pendiriannya itu udah bisa ngomong apa pun itu dengan sesama saudaranya, yang berteman pun bisa akhirnya musuh-musuhan," paparnya.

Baca Juga: Viral Sunmori Moge Terobos Ring 1 Istana, Paspampres: Untung Ditendang Tidak Ditembak

Buzzer

Berkaitan dengan polarisasi tersebut, Fahri mengatakan bahwa buzzer memiliki peran penting dalam membentuk polarisasi di media soaial Indonesia.

"Buzzer, kemudian saling perang tentang hoax, itu adalah keyword-keyword yang langsung muncul ketika kita mendengar media sosial di Indonesia. Bukan entrepreneurship, start-up, Big Data, terus IoT (Internet of Things), itu kan keilmuan tuh," kata Fahmi.

Selain itu, buzzer juga mendorong budaya akun anonim sehingga pemilik akun merasa bebas untuk berbicara apapun.

Hal tersebut, lanjut Fahmi, dapat dilihat di komentar warganet Indonesia di akun Instagram Microsoft usai laporan DCI dirilis.

Menurutnya, buruknya tingkat kesopanan warganet Indonesia juga disebabkan tidak adanya edukasi mengetai net-tiquette (kesopanan berinternet.

“Yang ada adalah didikan menjadi buzzer. Kita dikasih contoh bagaimana berkomunikasi ala buzzer, ala polarisasi, di mana di situ kita sering bermusuhan," papar dia.

Baca Juga: Model Cantik Ini Dijuluki Barbie Kejahatan Usai Lakukan Penipuan, Bahkan Mantan Pacarnya Jadi Korban

Online bullying

Laporan DCI juga menyebutkan bahwa 5 dari 10 mengaku pernah terlibat online bullying atau perundungan online. Sementara 19 persen mengaku menjadi korban perundungan onlone.

Menurut Fahmi, hal tersebut terjadi karena tidak adanya edukasi terkait perundungan yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan formal Indonesia.

Ia mengatakan bahwa pelajaran tentang bullying bisa menjadi bekal kepada individu tentang bagaimana harus bersikap atau membawa diri dalam pergaulan di media sosial.

Fahri juga mengatakan bahwa laporan tersebut harapannya bisa menjadi masukan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk memasukkan materi tentang digital citizenship (kewarganegaraan digital) yang mencantumkan net-tiquette di kurikulum pendidikan formal Indonesia.

“Jadi masukan itu buat Kemdikbud, khususnya, menurut saya. Karena ini urusannya sama pendidikan," kata Fahmi.

Penulis : Fiqih-Rahmawati

Sumber : Kompas TV


TERBARU