> >

Mengkritik Bukan Menyebar Hoaks, Apalagi Provokasi

Kompas petang | 14 Februari 2021, 18:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.TV - Saat berpidato dalam peringatan hari pers nasional 9 Februari lalu, secara tersirat, Presiden Joko Widodo minta dikritik. 

Pernyataan ini disambut pertanyaan dari Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa ditangkap polisi?

Di tengah komitmen Indonesia dalam menegakkan demokrasi, pernyataan minta dikritik yang diucapkan Presiden Joko Widodo sebenarnya normatif belaka.  

Mengapa? Karena esensi dari demokrasi adalah partisipasi publik, baik saat memilih pemimpin, maupun ketika pemimpinnya menjalankan tugas yang dimandatkan oleh publik.

Itulah mengapa sebenarnya partisipasi masyarakat berupa kritik untuk perbaikan laju pemerintahan, mesti benar-benar dijaga. 

Dalam undang-undang, kebebasan setiap warga negara menyampaikan pendapat, dijamin secara penuh, termasuk untuk mengkritik pemerintahnya sendiri.

Dan ketika semua pihak mampu memandang kritik sebagai bagian dari partisipasi publik, bagian dari upaya evaluasi pejabat dan program negara, tidak perlu ada yang merasa alergi, bahkan melakukan pendekatan kekuasaan terhadap orang-orang atau lembaga yang mengeluarkan kritik.

Namun belakangan banyak muncul suara yang mengeluhkan sulitnya mengkritik, tanpa ada ancaman berupa pelaporan ke polisi, hingga keamanan pribadi.

Untuk kritik melalui media sosial, keluhan serupa juga muncul. 

Beberapa kali sudah terjadi, ada upaya doxing, atau menyebarluaskan informasi pribadi orang yang melontarkan kritik, yang bisa jadi berujung ancaman terhadap keamanan si individu.

Penulis : Merlion-Gusti

Sumber : Kompas TV


TERBARU