> >

Analisis Lemhanas soal Pilkada Serentak: Ada Fenomena Dinasti Politik Hingga Netralitas ASN

Politik | 11 Februari 2021, 23:26 WIB
Lemhanas menemukan tiga poin yang terjadi dalam Pilkada serentak lalu. Di antaranya fenomena dinasti politik, politik uang, dan pelanggaran netralitas ASN. (Sumber: ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) mengkaji Pilkada serentak yang belum lama berlangsung pada Desember 2020 lalu.

Lemhanas menemukan tiga poin yang terjadi dalam Pilkada serentak lalu. Di antaranya fenomena dinasti politik, politik uang, dan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).

Pertama mengenai fenomena dinasti politik. Berdasarkan sistem informasi dan rekapitulasi KPU, terdapat 55 kandidat dari 124 kandidat (44%) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.

Menurut Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo, adanya fenomena dinasti politik tersebut menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

"Sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan," kata Agus dalam seminar Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah yang digelar di Kantor Lemhanas, Jakarta, Kamis (11/2/2021).

Fenomena dinasti politik membuat rekrutmen politik hanya dikuasai sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki.

Padahal, Indonesia merupakan negara demokrasi, di mana rakyat berkesempatan untuk berpartisipasi memilih pemimpin dalam pemilihan umum, baik pemilihan eksekutif maupun legislatif secara nasional dan tingkat daerah.

Baca Juga: LSI: Jika Gibran dan Bobby Menang, Terbentuklah Dinasti Politik Jokowi

Selain fenomena dinasti politik, praktik politik uang pun masih kuat di Pilkada tersebut.

Seperti diketahui, Bawaslu telah menangani 104 dugaan politik uang di berbagai daerah saat Pilkada serentak Desember 2020 lalu.

"Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia," kata Agus.

Pasalnya, politik uang akan memengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat yang subyektif, dan untuk kepentingan sesaat.

"(Masyarakat) tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang," imbuhnya.

Yang terakhir adalah pelanggaran netralitas ASN. Pilkada serentak lalu, kata Agus, diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN.

Ketidaknetralan ASN ini bisa berdampak jangka panjang. Karena akan memengaruhi pola manajemen ASN yang tidak didasarkan profesionalisme, melainkan kepada kedekatan personal terhadap pejabat.

"Yang berarti politisasi ASN atau PNS," sebut Agus.

Baca Juga: 580 ASN Dijatuhi Sanksi karena Langgar Netralitas di Tahapan Pilkada 2020

Agus berpandangan, kondisi demokrasi fenomena pilkada yang terus berulang ini perlu dikaji lebih lanjut.

Yakni mempertanyakan, bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya?

Kemudian, apakah partai politik saat ini tidak lagi memiliki kekuatan ideologis, sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya?

Dan apakah masyarakat lebih mempertimbangkan kepentingan jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan pilkada?

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU