> >

Kerap Gunakan Artis, Tepatkah Kampanye Vaksin Pemerintah?

Update corona | 19 Januari 2021, 07:00 WIB
Raffi Ahmad menerima dosis vaksin virus Corona atau Covid-19 pada Rabu (13/1/2021) (Sumber: YouTube/Sekretariat Presiden)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pada 13 Januari 2021, Indonesia secara resmi memulai vaksinasi massal Covid-19. Orang pertama yang divaksin adalah Presiden Joko Widodo. Setelah Presiden Jokowi, beberapa pejabat, tokoh masyarakat dan kalangan selebritis pun ikut divaksinasi.

Mewakili kaum millennial, selebritis Raffi Ahmad pun ikut divaksinasi. Raffi yang juga merupakan seorang influencer media sosial, memiliki Akun instagramnya @raffinagita1717 yang diikuti oleh 49.5 juta followers. Sedangkan akun youtube Rans Entertainment miliknya telah disubscribe 19 juta orang.

Keikutsertaan Raffi diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi seluruh masyarakat Indonesia dan para followers-nya untuk yakin terhadap vaksin Covid-19 dan turut mensukseskan program vaksinasi di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Polisi Sebut Tak Ada Pelanggaran Raffi Ahmad Party Usai Disuntik Vaksin

Namun demikian, hanya beberapa jam setelah menerima vaksinasi, Raffi kedapatan sedang menghadiri sebuah pesta bersama artis-artis lainnya. Dalam foto yang beredar di media sosial, Raffi terlihat tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak sosial. Hal ini memicu kritik yang luas terhadap Raffi yang sejatinya menjadi inspirasi masyarakat Indonesia untuk tetap taat pada protokol kesehatan selama pandemi.

Tangkapan layar saat Raffi Ahmad menghadiri pesta setelah disuntik vaksin. (Sumber: Instagram/@anyageraldine)

Lalu seberapa efektif pelibatan selebritis dan influencer media sosial dalam kampanye vaksin di Indonesia? Benarkah dengan melibatkan artis dalam kampanye vaksin di Indonesia, akan ikut mendorong kepercayaan masyarakat untuk bersedia divaksinasi?

Berdasarkan survei yang dilakukan Paramadina Public Policy Institute periode Oktober-November 2020, komunikator yang paling dipercaya masyarakat dalam masalah Covid-19 adalah media massa (94,45%), situs resmi pemerintah (93,94%), media sosial pemerintah (93,86%), RT/RW setempat (89,4%) dan tenaga kesehatan (81,82%).

Sedangkan kepada influencer media sosial, masyarakat mengaku hanya percaya sebesar 62,12%. Kepada tokoh publik, masyarakat hanya percaya sebesar 51,51%.

Baca Juga: Berpesta Usai Disuntik Vaksin, Haruskah Raffi Ahmad Diproses Hukum? - ROSI

Menanggapi hal ini, pengajar Paramadina Graduate School of Communication, Ika Karlina Idris mengungkapkan, dalam kampanye komunikasi, memang dibutuhkan pemimpin opini dalam menjembatani pesan pemerintah kepada masyarakat.

“Mengapa? Karena pemerintah ada jaraknya, dan pemimpin opini bisa menjembatani jarak tersebut,” ujarnya kepada Kompas.tv.

Namun demikian, menurut Ika ada kriteria pemimpin opini yang memiliki kemampuan dalam menyampaikan retorika pada publik. Kriterianya adalah, sang pemimpin opini harus memiliki logos (argumen atau penguasaan terhadap argumen), pathos (kemampuan memahami emosi audiens), dan ethos (kompetensi, perilaku, keahlian).

“Meski artis itu terkenal, namun belum tentu mereka mampu berargumen dan belum tentu mereka kompeten. Artis hanya cocok untuk meningkatkan awaresss, misalnya pesan untuk memberitahukan sudah ada vaksin. Namun untuk pesan yg sifatnya mengajak atau mengubah perilaku, tentu dibutuhkan pemimpin opini yang lebih kompeten dan berkeahlian,” ujar Ika.

Untuk memenuhi kriteria ini, menurut Ika, pemerintah bisa mencari pemimpin opini yang terkenal, namun tidak harus dari kalangan artis, misalkan pemerintah bisa memilih dokter yang terkenal di media sosial.

Mengenai Raffi Ahmad yang ditunjuk pemerintah sebagai pemimpin opini dari kalangan millennials, menurut Ika, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah hanya melihat perwakilan anak muda hanya dari kalangan elit saja. Padahal pemerintah bisa memilih pemimpin opini dari kalangan millennials yang lebih membumi.

“Pemilihan Raffi, sama saja menunjukkan kalau pemerintah memberikan privilege hanya kepada kaum elit. Padahal corona ini berdampak luas. Dampaknya lebih parah pada mereka yang miskin dan susah mendapatkan akses kesehatan. Raffi itu sanggup melakukan tes swab kapan saja. Mengapa tidak mencari representasi dari kalangan ‘ndeso’, seperti branding awal presiden,” ujarnya.

Pengajar Paramadina Graduate School of Communication, Ika Karlina Idris. Dalam survei yang dilakukan Paramadina Public Policy Institute, diketahui kepercayaan masyarakat kepada influencer media sosial hanya 62,12 persen. (Sumber: Dokumentasi pribadi.)

Menurut Ika, pemerintah seharusnya menggunakan strategi komunikasi yang lebih mikro dan menyentuh langsung masyarakat di akar rumput. Misalnya pemerintah bisa menggunakan pejabat-pejabat di level RT/RW atau jejaring yang lebih dekat pada masyarakat. Misalkan alumni dari universitas tertentu.

 “Kalau efek awareness tentu Raffi mampu, tapi kalau untuk efek sampai mau menerima vaksin menurut saya lebih efektif menggunakan mikro influencer, seperti teman-teman sendiri,” tambahnya.

Baca Juga: Polisi Benarkan Ada Ahok Dalam Pesta yang Dihadiri Raffi Ahmad

Selain itu, menurutnya pesan yang dibawa para pemimpin opini juga seharusnya tidak berhenti pada sekedar “siap divaksin”. Lebih dari itu, setelah divaksinasi, masyarakat juga harus tetap mempertahankan protokol kesehatan.

Ika menekankan, jangan sampai pesan yang diterima hanya “siap divaksin”, namun pesan untuk tetap menjaga protokol kesehatan menjadi kabur.

Penulis : Tussie-Ayu

Sumber : Kompas TV


TERBARU