> >

Turki dan Rusia: Musim Tentara Bayaran

Opini | 29 Juli 2020, 10:10 WIB
Ilustrasi: kendaraan militer Tank Merkava milik militer Israel. (Sumber: Dok. Kontingen Garuda XXIII-M/United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL))

Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu yang menjadi penarik Turki dan Rusia terlibat dalam perang saudara di Libya adalah minyak dan gas alam. November lalu, dicapai kesepakatan antara Turki dan Libya berkait dengan perbatasan maritim di Laut Tengah antara kedua negara.

Dalam kesepakatan tersebut, perbatasan laut yang ada dimodifikasi dan menetapkan beberapa ladang gas yang ditemukan di Laut Tengah beberapa tahun lalu tidak lagi berada di zona maritim Libya melainkan berada di zona maritim Turki. Artinya menjadi milik Turki. Selain itu, ditandatangani pula kesepakatan menyangkut masalah kerja sama keamanan dan militer (modern diplomacy, 20/12/2019).

Sebagai imbalannya, di bidang militer, Turki memberikan bantuan kepada GNA perlengkapan militer, termasuk senjata anti-pesawat terbang, dan kendaraan bersenjataan. Bahkan, Turki mengirimkan tentara untuk mendukung GNA.

Karuan saja, langkah Turki terutama berkait dengan minyak membuat negara-negara di kawasan—Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel—yang memiliki kepentingan yang sama, meradang. Apalagi, pada bulan Desember lalu, Turki dan GNA menyepakati untuk berbagi “Zona Ekonomi Eksklusif” (ZEE) yang membentang dari pantai selatan Turki hingga pantai timur-laut Libya. Selain itu, Turki mengirimkan tentara bayaran untuk mendukung GNA menghadapi Haftar.

Sementara itu, Rusia juga terlibat dalam perang saudara di Libya. Seperti di Suriah, kepentingan Rusia di Libya antara lain termasuk perluasan wilayah pengaruhnya baik di bidang politik maupun militer di kawasan Timur Tengah dan Laut Tengah (Afrika Utara), setelah AS sibuk dengan dirinya sendiri. Rusia juga tertarik pada minyak Libya dan ingin membangun kontrak untuk pembangunan Libya.

Yang menarik adalah pihak yang didukung Rusia berbeda dengan yang didukung Turki. Rusia mendukung Haftar, sementara Turki mendukung GNA.  Keduanya sama-sama berharap bahwa pada akhirnya pihak yang didukung akan memenangi perang suadara. Itu berarti mereka akan memperoleh keuntungan ekonomi, terutama di bidang perminyakan, sekurang-kurangnya.

Ini sama dengan posisi mereka di Suriah. Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad (ada kepentingan strategis dan ekonomis); sebaliknya, Turki mendukung kelompok oposisi yang menginginkan Bashar disingkirkan. Meskipun belakangan mereka bisa bersama. Tetapi, Turki di Suriah memiliki kepentingan khusus yakni menyingkirkan kelompok Kurdi, terutama di sepanjang perbatasan Turki-Suriah di Suriah bagian utara.

Rusia juga, seperti di Suriah, dengan mendukung Haftar dalam rangka mencari pelabuhan laut dalam di pantai Mediterania, mengendalikan pasokan minyak ke Eropa, pengaruh atas arus migran ke Eropa dari Afrika sub-Sahara, dan mengharapkan mendapatkan kontrak rekonstruksi Libya pasca-perang nanti.

Haftar mulai mencari bantuan dari Rusia pada tahun 2015, setelah terkesan oleh operasi Rusia di Suriah. Untuk mendapatkan dukungan Rusia, Haftar menjanjikan “minyak, pembangunan jalur kereta api, jalan bebas hambatan, dan apa saja yang diinginkan.” Sebaliknya, Rusia diharapkan memberikan bantuan militer dan dukungan diplomatik dalam pertarungan melawan GNA.

Perang Proksi

Keterlibatan Turki dan Rusia dalam perang saudara di Libya, sangat menarik sekaigus membuat situasi tambah pelik. Mereka tidak “mencelupkan tangannya secara langsung.” Baik Turki maupun Rusia menggunakan  tentara bayaran (Arabia Policy, 24 Juni 2020). Pada tanggal 2 Januari 2020, Parlemen Turki meratifikasi sebuah memorandum yang diajukan istana kepresidenan tentang pengiriman pasukan Turki ke Libya.

Pasukan yang dikirim adalah tentara bayaran. Dengan menggunakan tentara bayaran, biaya perang relatif lebih murah dan risiko lebih kecil, misalnya, tidak akan kehilangan tentaranya sendiri. Selama ini, tentara bayaran sudah terlibat dalam beberapa perang, mulai dari perang di Irak (invasi AS tahun 2003) di Suriah, Yaman, dan sekarang di Libya.

Dalam keterlibatannya di Libya, Rusia bermain lebih “cantik”, tidak mau mengotori tangannya sendiri, ketimbang Turki. Moskwa menjalin kerja sama militer dengan Wagner Group, sebuah korporasi militer swasta yang dekat dengan Kremlin. Jadi Wagner Group-lah yang mengirimkan tentaranya. Kantor berita Reuter yang mengungkap laporan rahasia PBB, melaporkan kehadiran 1.200 tentara bayaran dari Wagner Group di Libya (Libya Observer, 7 Mei 2020).

Sementara, Turki secara terbuka mendukung GNA dengan merekrut anggota-anggota kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini sudah “dibina.” Menurut Syrian Observatory for Human Rights yang berpusat di Inggris, Turki merekrut 10.000 orang Suriah untuk bertempur di Libya. Tentang perekrutan orang-orang Suriah oleh Turki untuk berperang di Libya juga diungkapkan oleh Syrian for Truth and Justice (STJ) dalam laporannya 11 Mei 2020.

STJ melaporkan tentara bayaran itu direkrut adalah dari kelompok-kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini mempunyai jalinan dengan Turki. Mereka antara lain Korps Pertama Tentara Nasional, Divisi Sultan Murad, Divisi Mu’tasim, Brigade Suleiman Shah atau al-Amshat, Levant Front, Glroy Corps/Faylaq al-Majd, Jaysh al-Islam, Brigade Al-Moutasem, Faylaq al-Sham, Nour al-Din al-Zeki, Jaysh al-Tahrir, Divisi Hamza, Jaish al-Nasr, dan Liqa Suqur al-Jabal.

Turki tidak hanya merekrut tentara bayaran dari Suriah tetapi juga dari Yaman. Sumber intelijen dan militer Yaman mengungkapkan, 200 tentara bayaran dari Yaman telah dikirim ke Libya oleh Turki. Berita tersebut juga dibeberkan oleh Yemen News Portal, yang mengungkapkan sebuah kelompok milisi yang berafiliasi dengan Partai Islah di Marib telah mengirim tentaranya ke Turki.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan Libya? Pasti akan sangat tergantung dari negara lain, yang sekarang terlibat. Jika, misalnya GNA kalah, Turki akan kehilangan akses ke ladang minyak dan gas di Laut Tengah, Rusia yang akan menikmati hasil. Jika Haftar menang—Rusia juga menang—berarti akan membuyarkan kesepakatan yang sudah dicapai antara Tripoli dan Ankara.

Situasi akan bertambah rumit, bila negara-negara Arab saingan Turki seperti Mesir, juga terpancing untuk terlibat langsung. Maka, kondisi pasti akan bertambah buruk. Libya benar-benar menjadi panggung kompetisi proksi. Dan, semua itu akan memperpanjang penderitaan rakyat negeri kaya minyak ini. Moammar Khaddafy di “atas” pasti akan sedih melihat negerinya hancur; dihancurkan oleh ambisi untuk merebut kekuasaan dan kekayaan alam.

Artikel selengkapnya bisa dibaca di blog Trias Kuncahyono

Penulis : fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU