> >

Jejak Soeharto Sebagai Komandan Pasukan

Opini | 8 Juni 2020, 00:10 WIB
Presiden Soeharto saat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, 27 Maret 1968 (Sumber: KOMPAS/Pat Hendranto)

Persiapan Soeharto menyongsong kekuasan, bisa jadi sudah dimulai sejak Soeharto menjadi Panglima Kodam (d/h Tentara dan Teritorium) Diponegoro, periode 1957-1959, atau mungkin lebih jauh lagi. Ada kosakata indah untuk menggambarkan tingkat kesiapan seseorang dalam merespons momentum sejarah, yakni eenmalig (Belanda), yang secara harfiah artinya “sekali saja”. Maknanya mirip dengan peribahasa yang sudah biasa kita dengar: kesempatan tidak datang dua kali.

Bagaimana cara Soeharto merespons momentum sejarah, sungguh pengalaman menarik.  Dia menyiapkan secara kejiwaan (spirit) dan membentuk tim pendukung. Sehingga kita bisa paham sekarang, mengapa Soeharto terlihat begitu siap menyongsong momentum sejarahnya sendiri, di tengah pergolakan tahun 1965. Tidak semua orang siap dalam merespons kesempatan sejarah, hingga akhirnya momentum itu lewat begitu saja. Berbeda dengan Soeharto, bahkan Soeharto bersama timnya bisa melakukan rekayasa, agar kesempatan sejarah itu bisa merapat ke dirinya, sehingga dia bisa mulus menggapai kekuasaan.

Bagi Soeharto, aspirasi kekuasaan dia simpan secara rapat, hingga hanya lingkaran terdekatnya saja yang bisa menangkap sinyal itu. Kemudian secara tim, sejak masih bertugas di lingkungan Kodam Diponegoro, Soeharto membangun tim solid guna menopang aspirasinya. Ketika dipindahkan ke Jakarta sebagai Pangkostrad, hingga kemudian menjadi Presiden RI, Soeharto tetap melibatkan timnya, yang soliditasnya sudah terbangun sejak sama-sama bertugas di Kodam Diponegoro, dua nama yang patut disebut adalah Yoga Sugama dan Ali Moertopo.

Adalah Ahmad Yani yang  merupakan figur paling menjulang dari rumpun Diponegoro. Dengan kata lain, Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Kalau boleh kita berandai-andai, selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.

Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga menjelang akhir hidupnya.

Tidak demikian dengan Yani, terlebih sepulangnya mengikuti pendidikan di Amerika. Yani dianggap mulai condong pada nilai kosmopolitan, sebuah nilai yang tidak masuk dalam konvensi rumpun Diponegoro. Nilai  yang lebih diidentikkan dengan rumpun lain, yaitu (Kodam) Siliwangi. Rumpun Siliwangi dianggap kosmopolitan, karena karakter kota Bandung yang menjadi sentral rumpun Siliwangi.

Perwira Tangguh Soeharto

Bila dengan sesama elite Rumpun Diponegoro, Soeharto tampak bermasalah, namun pada level perwira di bawahnya, Soeharto berhasil membangun tim yang solid. Sebagaimana sudah disebut sebelumnya, salah satu pendukungnya yang sangat setia adalah (pangkat saat itu) Letkol Inf Ali Moertopo.

Perjalanan karir Ali Moertopo sendiri tak kurang uniknya, dari seorang “jagoan perang” yang tergabung dalam satuan Banteng Raiders, hingga kemudian tampil sebagai perwira intel yang tangguh. Bersama orang setangguh seperti Ali Moertopo itulah, Soeharto mempraktikkan apa yang oleh para akademisi Barat disebut “kudeta merangkak”. 

Gerakan itu sebenarnya diadopsi dari taktik satuan infanteri dalam merebut (wilayah) ketinggian. Dalam operasi lawan gerilya, pasukan TNI biasa berebut wilayah ketinggian, seperti perbukitan misalnya, berdasar asumsi, wilayah ketinggian merupakan medan pertahanan yang baik, dan baik pula untuk melakukan serangan.

Dalam konteks politik tahun 1965-1966, ketinggian dimaksud adalah Istana, sebagai lambang kekuasaan. Pasukan TNI (khususnya dari matra darat), dikenal sabar dan tangguh dalam merebut ketinggian, ketika berhadapan dengan gerilyawan gerakan separatis, sejak dulu sampai sekarang. Taktik satuan infanteri seperti inilah yang kemudian diadopsi Soeharto bersama timnya, menuju singasana kekuasaan di Jakarta, yang akhirnya berkepanjangan hingga berkuasa selama 32 tahun.

 

Penulis : Zaki-Amrullah

Sumber : Kompas TV


TERBARU