> >

Tamu Tak Diundang

Opini | 4 April 2020, 16:32 WIB
Ilustrasi matahari menyinari perkotaan. (Sumber: Pixabay)

Oleh Trias Kuncahyono

Untuk segala sesuatu ada masanya. Untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Demikian kata Sang Pengkhotbah. Kita tidak bisa mengendalikan waktu Tuhan. Kalau waktu itu sudah lewat, tidak akan kembali lagi. Karena itu, selama masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang. Kalau kesempatan tidak digunakan, maka waktu akan hilang.

Kalau kita tidak cermat kita akan kehilangan kesempatan. Sebab itu, kita harus memperhatikan waktu pintu terbuka dan waktu pintu tertutup. Apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.

Ada waktunya Tuhan membuka pintu masuk bagi kita dalam sebuah kesempatan. Bila mana kita tidak masuk, pintu akan tertutup. Pintu itu bisa sebuah kesempatan kesempatan baik yang kita miliki. Yang mungkin Cuma sekali saja. Jadi perhatikan waktu yang Tuhan berikan. Jadilah peka, bijaksana, berani mengambil keputusan namun tidak terburu-buru. Atau anda akan menyesalinya!

Waktu, selalu memberikan pilihan kepada manusia. Apakah manusia mau menjadi baik atau buruk. Apakah kita manusia mau berbuat baik atau tidak bagi sesama? Berbuat baik kepada sesama merupakan salah satu kebiasaan dan kepribadian seseorang yang mencerminkan kebaikan dan keberhasilan jika dilakukan untuk pekerjaan. Berbuat baik untuk orang lain merupakan kebajikan yang semestinya tertanam sejak dini.

Bukankah keutamaan—yang oleh filsuf Thomas Aquinas (1225-1274) didefinisikan sebagai habitus atau kebiasaan untuk berbuat baik–diperoleh lebih karena kebiasaan daripada ajaran, terutama keutamaan moral. Ada peribahasa lama yang sangat indah, Magna est vis consuetudinis, yang artinya kurang lebih “pengaruh sebuah kebiasaan itu kuat.” Karena itu, orang yang sejak kecil oleh orangtuanya diajari dan dilatih, serta dibiasakan untuk jujur, sopan, rajin, bertanggung jawab, menghormati orang lain–tanpa memandang perbedaan entah itu agama, suku, rasa, dan golongan—memiliki rasa compassion, belarasa, akan menjadi pribadi yang berkarakter baik.

Dan, satu hal yang pasti bahwa kita tidak dilahirkan buruk. Setiap orang memiliki sesuatu yang baik di dalam dirinya. Tetapi, ada yang menyembunyikan. Bahkan, ada yang menolaknya. Namun, sesuatu yang baik itu tetap ada di sana, di dalam hati. Pilihan tersebut sepenuhnya ada di hati, pikiran, dan tangan manusia yang memiliki kehendak bebas. Semua tergantung pada manusia, mau menjadi seperti apa.

Sekarang ini, ketika kita menghadapi situasi kedaruratan, krisis karena pandemi Covid-19 yang semakin merajalela, sifat, karakter manusia yang sesungguhnya terlihat. Apakah kita memiliki habitus untuk berbuat baik bagi sesama atau memikirkan diri sendiri, mau menang sendiri atau tidak. Kesediaan dan kerelaan kita untuk mentaati dengan suka rela keputusan politik pemerintah—yang terakhir pemerintah memberlakukan pembatasan sosial skala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif—merupakan salah satu bentuk keutamaan; memikirkan, peduli terhadap orang lain. Orang yang berakal budi akan berdiam diri pada waktu itu, karena waktu itu adalah waktu yang jahat,

Aturan memang harus secara tegas ditegakkan. Perlu ada sanksi yang melanggarnya, demi keselamatan bersama. Menurut Baron Heinrich von Cocceji (1644-1719), profesor hukum alam dan internasional di Heidelberg, ada ungkapan—yang awalnya terinspirasi oleh Aristoteles—yang berbunyi demikian: Ubi homo, ibi societas. Ubi societas, ibi ius. Ergo: ubi homo, ibi ius yang kurang lebih berarti “Di mana manusia berada, ada masyarakat. Di mana ada masyarakat, ada hukum. Karena itu: di mana manusia berada, ada hukum.” Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu dikatakan oleh Cicero (106-43 SM), filsuf Romawi.

Dengan kata lain, hukum dibuat karena ada masyarakat. Tanpa masyarakat, hukum tidak ada. Karena itu, sudah layak dan sepantasnya—atau bahkan sebuah keharusan—bahwa semua anggota masyarakat menaati, mematuhi hukum yang ada. Hukum menyediakan landasan normatif tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh manusia, oleh anggota masyarakat, oleh seluruh rakyat dalam hidup sosialnya. Hukum mengatur agar warga masyarakat, seluruh rakyat hidup disiplin dan tertib. “Disiplin, disiplin, dan disiplin itu paling penting,” begitu tulis Kepala BNPB yang juga Kepala Gugus Tugas penanganan Covid-19 Doni Monardo, dalam WA-nya yang dikirim beberapa hari lalu.

Penulis : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU