> >

Sepenggal Kenangan

Opini | 18 Februari 2024, 09:00 WIB
Penulis, Trias Kuncahyono dan putranya. (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono

Tanggal 10 September lalu, sambil berdiri di depan papan tempat menempel gambar wajah para capres dan cawapres serta para calon anggota legislatif, saya katakan pada anak saya:

Ini hari yang bersejarah bagimu, Mas. Hari ini, untuk pertama kalinya, Mas menggunakan kebebasan warga dan kebebasan politik. Tentu kamu bingung: apa itu kebebasan warga dan apa itu kebebasan politik. Baru kali ini mendengarkan, bukan…

Kebebasan warga biar kelihatan mentereng sering disebut freedom of citizens. Ah, ini juga istilah yang bagimu sangat asing, bukan. Kalau kata per kata, Mas pasti tahu artinya. Tapi kalau digabung menjadi satu kesatuan freedom of citizens, itu beda lagi maknanya. Dan, ayah akan kerepotan menjelaskannya.

Tentu Mas bertanya: Kenapa disebut freedom of citizens? Karena, manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang bebas.  Artinya manusia–ini yang membedakan dengan binatang, misalnya–diberikan kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Karena memiliki akal dan budi, punya pikiran dan hati.

Baca Juga: KUBERIKAN SUARAKU PADAMU

Manusia, seperti kita ini, adalah tuan atas tingkah laku kita sendiri.  Kebebasan ini tidak boleh diambil, dihalangi oleh pihak manapun, oleh siapa pun. Tapi, kita harus memertanggung-jawabkan segala tingkah laku, tindak-tanduk kita. Bukan terus tanpa aturan atau bukan tidak tahu aturan.

Nah, kebebasan kita itu tadi ada hubungannya dengan peristiwa hari ini. Hari ini, kita ikut pemilu; ikut memilih calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota DPR. Kita bebas memilih siapa saja.

Kebebasan ambil bagian dalam pemilu ini adalah salah satu contoh dari kebebasan politik atau political liberty sebagai warga yang memiliki kebebasan.

Kita boleh kok tidak ikut memilih. Kan, kita adalah manusia bebas. Tapi, apakah, sebagai warga yang berakal budi dan bertanggung-jawab, akan membuang kebebasan politik kita begitu saja? Bukankah kita, sebagai warga negara ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara, sesuai dengan kemampuan dan posisi kita, sekecil apa pun?

Apalagi bagi kamu  Mas, yang baru pertama kali ini memilih. Karena itu, gunakanlah kedua kebebasanmu itu–kebebasan warga dan kebebasan politik–secara bertanggung jawab. Dengan demikian, kebebasanmu itu tidak sia-sia. Sebab, telah menjadi kebebasan yang berbuah, yang bermanfaat.

Kamu kan sudah memelajari siapa mereka itu, bukan. Maka pilihlah sesuai suara hatimu, suara yang bertanggung jawab sebagai warga negara yang bebas, sebagai anak yang terdidik.

Baca Juga: KULIHAT IBU PERTIWI...

***

Ah, sudahlah kamu nanti pusing memikirkan freedom of citizens dan political liberty itu. Sudah, baca buku yang ada di rak buku di kamar kerja ayah saja, soal itu semua.

Tapi, Mas…ada yang istimewa lain lagi. Hari bersejarahmu ini terjadi di kota yang penuh tumpukan sejarah. Malah, teman ayah, Romo Budi Subanar menyebut Roma ini sebagai sungai sejarah. Wow…

Mas kan sudah mengunjungi, misalnya colesseum, pantheon, piramade cestia, Basilika Santo Petrus, Lapangan Santo Petrus, Roman Forum, dan Area Sacra di Largo Argentina. Semua tempat itu ada ceritanya. Ada sejarahnya.

Misalnya. Dulu colesseum antara lain digunakan untuk tempat aduan para gladiator dan juga mengadu orang dengan binatang buas. Lalu, Lapangan Santo Petrus dulu oleh Kaisar Nero, ingat kan Kaisar Nero yang menurut ceritanya membakar kota Roma, dipakai untuk balapan kereta kuda.

Terus itu, Area Sacra di Largo Argentina, yang persis di seberang Toko Buku laFeltrinelli, juga tempat bersejarah.  Kan, Mas pernah motret kucing di tempat itu. Ingat kan.

Menurut cerita, di tempat itu dulu Julius Caesar, yang disebut dictator perpetuus, diktator seumur hidup Roma, dibunuh. Tahu kan siapa itu Julius Caesar?

Kalau Mas ingin tahu ceritanya siapa dan apa Julius Caesar itu, serta apa yang terjadi dulu di tempat tersebut, baca saja buku yang kita beli waktu itu: Rome Eternal City karya Ferdinand Addis, halaman 81 – 108.

**

Ingat kan, Mas…semua itu. Tempat-tempat yang sudah dikunjungi. Tentu termasuk Trevi Fountain. Itu air mancur bertuah. Katanya, siapa yang melempar uang koin ke dalam air mancur secara benar, membelakangi air mancur, akan kembali lagi ke Roma.

Berapa kali, Mas mengunjungi tempat itu? Setiap kali mengajak ke sana hanya ingin beli gelato yang enak itu. Meskipun, berdesak-desakan karena banyak pembeli.

Mas, kita memang harus selalu mengenang apa yang telah terjadi. Bukan untuk sekadar mengenang. Tapi, kita bisa belajar dari kenangan itu: entah pahit atau manis, entah menyenangkan atau menyedihkan, entah membuat tertawa atau duka, entah membuat benci atau cinta.

Nanti, suatu ketika, kamu akan ingat peristiwa bersejarah hari ini  Mas. Sebab, kenangan manis dan pahit selama puluhan tahun mengalir, tanpa diundang, seperti matahari muncul setiap pagi tanpa diundang dan tenggelan tanpa disuruh.

Kata Paus Fransiskus dulu waktu masih menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, “Kita hidup dalam situasi di mana kita membutuhkan banyak kenangan.” Karena, Mas, kenangan adalah harta hati yang tak lekang oleh waktu.

Mas, saya rasa situasi sekarang ini juga membutuhkan banyak kenangan atau situasi sekarang ini, pantas untuk dikenang. Sekurang-kurangnya ada dua yang bisa dikenang Mas: ikut coblosan untuk pertama kali dan nyoblos di Roma, Kota Abadi.

Oleh karena itu, ingat, simpanlah dalam hatimu kenangan itu; kenangan indah itu. Momen hari ini adalah kenangan hari esok. Jaga semua kenanganmu karena kamu tidak dapat menghidupkannya kembali. Dan, kata orang-orang bijak, Mas, kenangan adalah kunci bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan.

Saya rasa, rakyat Indonesia pun, di mana mereka berada, mengenang dengan spiritual yang benar peristiwa 14 Februari lalu. Meskipun Khalil Gibran mengatakan, kemarin tidak lebih dari kenangan hari ini, dan besok impian hari ini.

 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Vyara-Lestari

Sumber :


TERBARU