> >

Ngobrol di Baccano

Opini | 28 Januari 2024, 22:11 WIB
Paus Fransiskus di Kapel Sistina, Vatikan (Sumber: Trias Kuncahyono)

***

Bersama Ketua Umum PB NU, KH Yahya Cholil Staqub (Sumber: Erick)

Kerja kemanusiaan. Itu kata kuncinya. Baik Muhammadiyah maupun NU, banyak melakukan kerja kemanusiaan di pelbagai pelosok Indonesia, sehingga dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan.

Misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah di tempat terpencil–di NTT, Papua, dan Maluku–juga usaha memberdayakan kaum perempuan di wilayah-wilayah jauh itu, wilayah-wilayah pinggiran atau sering disebut wilayah garis depan.

Kerja kemanusiaan adalah wujud dari politik kemanusiaan. Dalam Ensiklik (surat edaran) Fratelli Tutti (Semua Saudara) tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, 4 Oktober 2020, Paus Fransiskus menjelaskan tentang politik kemanusiaan ini.

Baca Juga: Busana sebagai Medium Komunikasi Politik

Kata Paus politik kemanusiaan mencari dan menemukan kebaikan bersama yang bersifat universal yang berbasiskan
praksis amal kasih dan peningkatan martabat manusia. Dengan kata lain demi bonum commune, common good, kemaslahatan bersama.

Ensiklik ini menegaskan bahwa Tuhan yang Maha Esa hadir dalam setiap peristiwa dan dalam diri setiap pribadi manusia, tanpa memandang perbedaan melalui persahabatan dan persaudaraan sosial dalam wujud solidaritas dan dialog. Kehadiran Tuhan yang Maha Esa itu sekaligus memromosikan inklusivitas yang berbasiskan nilai-nilai Kitab Suci dan cinta kasih Kristiani yang bersifat universal.

Panggilan untuk mewujudkan persahabatan dan persaudaraan antar-umat manusia, menjadi panggilan universal. Ensiklik ini menegaskan, kesadaran sebagai sesama ciptaan yang bersaudara menjadi satu-satunya jalan ke depan yang lebih baik bagi umat manusia.

***

Semua dipersatukan: orang-orang, kapal, dan penderitaan. Patung di Lapangan St Petrus, Vatikan (Sumber: Trias Kuncahyono)

Kemanusiaan itu penting bagi politik. Kalau politik abai atau meninggalkan kemanusiaan, maka politik tak akan mampu mewujudkan misi luhurnya yakni menciptakan bonum commune. Bila politik tak peduli pada kemanusiaan, maka tak akan mampu memahami persoalan utama manusia.

Pendek kata, politik kemanusiaan itu politik yang memersatukan. Ini selaras dengan asal kata politik yakni polis (Aristoteles). Kata polis yang selain berarti kota juga bisa berarti kumpulan orang yang hidup bersama secara khas; E pluribus unum, Bhinnneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.

Maka kata Aristoteles, bila penyatuan dipaksakan melewati batas, polis akan merosot menjadi keluarga, dan keluarga jadi urusan satu orang. Bahkan seandainya penentu hukum bisa membuat negara bersatu padu, dalam proses ia akan menghancurkan negara itu. Suatu polis tidak hanya berisi keragaman, tetapi keragaman manusia dengan kebhinnekaan ciri (B Herry-Priyono, 2022).

Baca Juga: Pesan Michelangelo

Sampai di sini jelaslah bahwa politik kemanusiaan berbeda, misalnya, dengan politik kekuasaan. Politik kekuasaan itu menomorsatukan kekuasaan: bagaimana merebut, memerkuat, dan memertahankan kekuasaan. Kalau perlu dan dibutuhkan, meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kata Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang diakui sebagai pelopor politik moderen, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu dan menindas. Tentu apa yang dikatakan itu bukan sebagai nasihat politik, melainkan Machiavelli memandang kekuasaan memang tak semurni dunia surgawi.

Machiavelli mengatakan hal itu setelah melihat apa yang nyata-nyata terjadi di zamannya, bukan apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang penguasa untuk merebut, memertahankan, dan kehilangan kekuasaan (dalam Politik Kerakyatan, 1996).

Kata Machiavelli, ketika itu banyak orang muak dengan ekses Renaisans: keliaran seksual, ambisi kekuasaan, penumpukan harta, haus kemasyuran dan sebagainya. Dalam pandangannya, kekuasaan adalah dunia yang penuh intrik, kekejian dan ketololan.

***
Tapi, malam itu, kami benar-benar lulus tidak bicara soal politik kekuasaan; hanya politik kemanusiaan. Karena kemanusiaan di atas segala-galanya. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian rumusannya dalam Pancasila.

Makan malam pun terasa enak. Tak terasa yang ada di piring sudah habis. Makanan penutup juga sudah. Teh panas kami, sudah pula habis. Tapi, kami masih semangat untuk ngobrol.

Hanya karena, besok paginya Haedar Nashir beserta istri masih harus melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Belanda, kami mengakhiri obrolan malam itu. Yang sebenarnya belum malam, tapi hawa dingin makin terasa.

Kami berpisah tanpa ketemu KH Yahya Cholil Staqub.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU