> >

Ngobrol dengan Jenderal

Opini | 2 Juni 2022, 04:35 WIB
Deretan bintang yang di pundaknya jenderal. (Sumber: istimewa)

Ketiga
Jenderal, kok saya lalu ingin bertanya: bukankah kita memiliki UU Terorisme? Apakah undang-undang tersebut tidak cukup untuk menangani masalah yang merisaukan kita ini?

Ya, betul Mas. Hanya saja, UU itu tidak menjangkau kegiatan mereka yang sesungguhnya mengancam persatuan dan kesatuan negara, mengancam dasar negara, ideologi negara.

Sekadar sebagai contoh, Mas. Terkait pencegahan  intoleransi , radikalisme, dan  terorisme, misalnya, Densus 88 hanya dapat melakukan penegakan hukum ketika kejahatannya sudah dapat dijangkau oleh UU Terorisme.

Bila seseorang diduga melakukan tindakan terorisme (pasal 28 ayat 1 UU No 5 Tahun 2018) berdasarkan bukti cukup, baru dapat ditangkap.

Namun, ketika kegiatan tersebut belum bisa dijangkau oleh UU Terorisme atau lain (karena belum diduga melakukan tindakan terorisme), maka tidak bisa dilakukan penegakan hukum.

Padahal, tindakan atau kegiatan mereka merupakan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara, mengancam dasar dan ideologi negara atau sekurang-kurangnya bertentangan dengan Pancasila atau malah mau mengganti Pancasila.

Ini berbeda, misalnya dengan Internal Security Act (ISA–undang-undang keamanan atau keselamatan negara) di Singapura dan dulu Malaysia (dicabut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Kamis, 15 September 2011.

Meskipun pada tahun 2015,  Majelis Rendah Parlemen Malaysia menyetujui UU sejenis atau senapas yakni Prevention of Terrorism Act 2015 (Pota) atau Undang-Undang Pencegahan Terorisme.
Undang-undang tersebut mengizinkan pemerintah menahan tersangka tanpa batas waktu, tanpa pengadilan, dan tak bisa digugat di pengadilan.

Ini seperti Patriot Act di AS dan Terrorism Act di Inggris.

ISA Singapura adalah undang-undang yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melakukan tindakan preventif, mencegah subversi, menekan kekerasan terorganisir terhadap orang dan properti, dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan keamanan dalam negeri Singapura. Maaf, itu di negara tetangga.

Foto ilustrasi bendera Merah Putih. (Sumber: istimewa)

Keempat
Jenderal, bukankah tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa  sekarang ini rasa nasionalisme bangsa Indonesia sedang mendapat ujian.

Harus diakui bahwa sebagian kelompok masyarakat–dari berbagai kalangan dan strata–mencoba melawan arus kebangsaan dengan menggoyang dasar-dasar filosofi bangsa, Pancasila dan UUD 1945, serta bertingkah laku bak hidup dalam kondisi perang.

Yang tidak sepaham dianggap musuh. Yang tidak segolongan juga dikategorikan sebagai musuh. Mereka itu mengembangkan paham-paham yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan negara.

Betul, Mas.  Sayangnya, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan yang dapat menjangkau penyebaran paham-paham yang  manjadi benih atau pintu masuk ke terorisme itu.

Akibatnya,  pembenihan akan terus berlangsung, termasuk lewat dunia pendidikan. Dan, kita tinggal nunggu meledaknya saja.

Aduh, tinggal menunggu meledaknya? Mengapa tidak dicegah agar tidak meledak?

Begini Mas, BNPT misalnya, lembaga yang kegiatannya kebanyakan berada di wilayah pencegahan dan deradikalisasi, memerlukan waktu untuk melihat hasil kinerjanya.

Artinya apa, Mas. Artinya masih dibutuhkan peraturan perundangan yang mengatur soal paham-paham yang jadi benih  dan pintu masuk ke terorisme.

Apalagi, sekarang ini, mereka yang menyebarkan paham-paham yang menjadi benih dan pintu masuk ke terorisme atau yang memecah belah bangsa, yang menentang Pancasila juga NKRI, masih berkeliaran, beraktivitas dengan bebas.

Jenderal, saya kok lantas ingat yang dikatakan Buya Syafii beberapa waktu lalu mendengar penjelasan Jenderal itu.

Buya berpesan kewarasan menjadi kunci menghadapi intoleran, kekerasan, persekusi, dan ketidakberesan, “Jangan diam.”

Kewarasan dan sikap jangan diam telah membawa kesejukan bagi Indonesia.

Kata Buya, yang penting sekarang adalah orang-orang yang normal, orang-orang yang siuman seperti kita ini jangan diam.

Jangan diam! Sebab kalau diam, yang akan merajalela mereka.

Pemerintah harus kompak, mulai dari golongan tertinggi hingga pemerintah golongan bawah.

Mereka harus mengawasi dan membatasi gerak organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan masyarakat juga harus lebih kritis dalam berpikir.

Lalu membentengi diri atas informasi dan ajakan intoleran, salah satunya dengan perbanyak membaca dan melakukan tabayun atas informasi yang beredar (Antara, Sabtu (6/5/2017).

Jenderal, sepaham kan kita bahwa intoleransi,  radikalisme, ekstremisme,  terorisme, paham-paham anti-Pancasila akan memorandakan dan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU