> >

Kala Marica

Opini | 23 November 2021, 06:40 WIB
Seniman Gunther Uecker (Sumber: Levy Gorvy)

Kisah keserigalaan manusia sebenarnya sudah dimulai sejak tragedi pembunuhan Abil (Abel) oleh Kain. Inilah kejahatan pertama yang dilakukan anak manusia. Sejak saat itu, manusia seperti ditempeli pada dirinya sifat-sifat jahat; kuasa kejahatan. Yang jahat itu tidak ada di luar manusia tetapi ada di dalam diri manusia, di dalam hati manusia.

Di sanalah kejahatan itu berada. Kejahatan itu keluar dari hati manusia yang dirasuki tabiat Kain, menjadi horor dan teror bagi sesama. Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan (KBBS).

Praktik teror, itulah yang disebut terorisme. Kata terorisme berasal dari kata dalam bahasa Latin, yakni terrere yang berarti menakuti, mengejutkan, menggentarkan. Karena itu terorisme adalah tindakan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, entah tujuan politik atau tujuan yang lain.

III

Terorisme, muncul dalam banyak wajah. Ia bagaikan Rahwana atau Dasamuka, yang memiliki sepuluh wajah. Ia juga dapat menjelma seperti Sarpakenaka seorang rakshasi atau rakshasa wanita berwajah jelek, adik kandung Rahwana, yang bisa berubah menjadi seorang wanita sangat cantik jelita. Tetapi kecantikannya membawa bencana. Ia juga bisa seperti Kala Marica, raksasa pembantu Rahwana yang bisa berubah menjadi Kijang Emas, yang memikat Dewi Sinta.

Karena bisa berubah rupa, maka terorisme bisa pula masuk ke mana-mana: ke berbagai organisasi, lembaga—segala macam lembaga mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, keamanan, sosial, bahkan hingga agama—baik swasta maupun pemerintah, kelompok maupun komunitas rakyat jelata. Ia bagaikan darah yang mengaliri seluruh tubuh mahkluk hidup.

Maka tidak heran, muncul teror atas nama agama, misalnya—meskipun tak satu pun agama mengajarkan kejahatan, menganjurkan teror. Tetapi, teror atas nama agama—ada yang menyebut sebagai teror suci—merupakan fenomena yang selalu terjadi. David  C Rapoport (2004) menggolongkan teror agama sebagai teror gelombang keempat yang dimulai tahun 1979, hingga kini.

Gelombang terorisme modern pertama adalah anarki dimulai di Rusia pada tahun 1880-an dan berlangsung hingga tahun 1920-an. Gelombang kedua yakni antikolonial, dimulai pada tahun 1920-an dan berakhir pada tahun 1960. Dan, gelombang ketiga adalah gerakan kiri baru, yang dimulai pada tahun 1960 dan berlanjut hingga tahun 1980-an.

Kata F Gerges (2014, “ISIS and the third wave of jihadism”, Current History, 2014), gelombang keempat ini dibagi dalam tiga fase. Fase pertama, berlangsung sampai akhir dekade 1990, tokohnya adalah Abu Musab al-Zarqawi (1966-2006). Lalu, Osama bin Laden (1957-2011) memimpin fase kedua dengan al-Qaeda-nya. Dan fase ketiga dipimpin oleh Abu Bakar al-Bagdhadi (1971-2019) dengan ISIS-nya.

Oleh para pelakunya—teror atas nama agama—dipandang sebagai tindakan transendental; dibenarkan oleh otoritas agama, yang melakukan pun akan “besar upahnya di surga.” Tetapi, darah Abil yang membasahi bumi akan terus mengalir, mengejar keturunan Kain yang menebar kematian, menyebarkan kekejian yang membinasakan itu. Mereka ini tidak memelihara kehidupan, tetapi lebih memilih dan mengunggulkan kematian, bahkan kematian hati dan jiwanya sendiri.*

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU