> >

Om, Kami Serumah Positif

Opini | 11 Juli 2021, 14:29 WIB
Ilustrasi Virus Corona (Sumber: SHUTTERSTOCK/PETERSCHREIBER MEDIA)

Bukankah semestinya dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini orang semakin menyadari kerapuhannya. Tidak ada seorang pun, baik itu dokter, perawat, tenaga kesehatan yang lain, karyawan pabrik, karyawan supermarket, penyedia dan pengelola transportasi,  pejabat, elite partai politik, para penegak hukum, wartawan, petugas kebersihan, sukarelawan maupun para tokoh,  pemimpin agama, dan siapa pun juga, bisa mencapai keselamatan sendiri.

Kita semua bagaikan berada di perahu yang sama, yang rapuh, yang kehilangan arah, dan yang sedang diterpa ombak serta badai. Karena itu, semua penumpang dipanggil untuk bersama-sama mendayung, membuang keluar air yang masuk ke perahu, dan mengarahkan arah perahu ke tujuan yang benar. Solidaritas bersama akan menyelamatkan tidak hanya perahu, tetapi juga para penumpangnya.

Solidaritas adalah kebenaran moral dan tindakan sosial yang semakin dibutuhkan dewasa ini. Mereka yang memiliki jiwa solidaritas, menyisihkan segala macam perbedaan: entah itu perbedaan agama, etnis, suku, warna kulit, politik maupun ideologi. Sebab, solidaritas adalah tindakan profetis di tengah tanda-tanda zaman semakin marak, tumbuh dan tersebarnya kepentingan dan cinta diri dalam diri umat manusia.

Lahirnya solidaritas adalah pertanda ditegakannya kasih, kepedulian, compassion, bela rasa terhadap sesama. Orang yang memiliki sikap solider, berarti tidak mengingkari realita derita sesama yang ada di sekitarnya. Sebab, solidaritas itu mengajarkan untuk tidak mengabaikan orang lain, untuk memedulikan   , untuk memperhatikan orang lain, siapa pun mereka.

Sebaliknya, orang yang tidak memiliki dalam dirinya sifat dan sikap solider terhadap orang lain, berarti orang itu sudah kehilangan rasa tanggung jawab dalam dirinya; tidak ada lagi kasih, peduli pada sesama. Orang seperti itu sudah kehilangan hati.

Walau ada orang yang kehilangan hati dan lebih memikirkan diri sendiri, namun tetap saja  masih banyak orang di masa sulit ini yang rela untuk berbagi dan melayani. “Dalam kekurangan, kami membantu warga di erte kami yang menderita covid,” kata adik di desa, seorang pensiunan guru.

Cerita serupa juga, tumbuhnya rasa persaudaraan senasib sepenanggungan,  dikisahkan oleh sejumlah kawan dari pelbagai pelosok negeri ini. Di Surabaya yang memberikan makan secara gratis kepada siapa saja, sehari dua kali, pun pula dikirim secara gratis. Misalnya.  Di Semarang juga ada. Di kompleks kami pun, para ibu secara bergiliran mengirimkan makanan bagi warga yang menderita Covid-19.

Apa yang mereka lakukan barangkali sederhana. Tetapi, yang kelihatan sederhana itu, telah memberi isi dan makna hidupnya. Sebab, kata orang Jawa, urip iki mung mampir ngombe, karena itu musti diberi isi dan makna, sehingga pancaran hidupnya penuh sifat ilahi. Realitas hidup manusia memang realitas hidup bersama dengan yang lain.

Maka, hidup manusia senantiasa ada dalam suatu kenyataan relasional, terbuka pada sesama, saling menolong sesama penumpang perahu yang sama. Manusia yang rendah hati memerlukan orang lain. Manusia yang rendah hati menyadari kerapuhannya. Karena kerapuhannya, manusia tak mampu berdiri sendiri.

Dalam kerapuhan itu, teringat saya akan doa yang dikirimkan sahabat saya, Bung Paul. Sepotong doa yang sangat mewakili gejolak hati saat ini: “De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!” Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan! Tuhan, dengarlah suaraku! Kapan pandemi berakhir.

Sumber: Triaskun.id

Penulis : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU