> >

Euro 2020: Teladan Patriotisme Southgate

Opini | 10 Juli 2021, 22:50 WIB
Para pemain Timnas Inggris untuk Euro 2020. (Sumber: Twitter.com/euro2020)

Oleh: Anton Alifandi, Koresponden KompasTV di London

England expects” begitu judul berita yang kerap muncul ketika tim nasional Inggris menghadapi pertandingan penting.

Kutipan dari pidato Laksamana Horatio Nelson ini tak perlu ditulis lengkap karena sudah terpatri di benak setiap patriot Inggris.

England expects that every man will do his duty”, kira-kira terjemahannya, “Bangsa Inggris menuntut setiap orang untuk memenuhi tugasnya”.

Konteks kutipan itu adalah peperangan.

Sumbernya adalah ucapan Laksamana Nelson menjelang pertempuran di lepas Tanjung Trafalgar di Samudera Atlantik pada tahun 1805 ketika Angkatan Laut Inggris dengan telak mengalahkan armada gabungan Perancis dan Spanyol.

Heroisme Nelson diabadikan dalam patung yang menjulang puluhan meter di Trafalgar Square; monumen di tengah kota London yang selama Euro 2020 ini menjadi lokasi nonton bareng setiap kali Inggris bertanding.

Patriotisme Modern

Meskipun sudah berkurang, pemberitaan olahraga di Inggris terkadang masih mengandalkan metafora militer atau memancing sentimen patriotisme.

Banyak pengamat domestik memuji bahwa timnas Inggris di Euro 2020 ini mencerminkan patrotisme Inggris modern yang positif dan inklusif, bukan nasionalisme yang rasis atau merendahkan bangsa lain.

Para pemain timnas pun menggambarkan Inggris kekinian yang multietnik dan multibudaya.

Contohnya adalah Bukayo Saka yang orangtuanya berasal dari Nigeria, atau Raheem Sterling yang keluarganya berasal dari kawasan Karibia.

Kepedulian sosial mereka juga mendapat acungan jempol.

Jordan Henderson menggalang dana untuk para tenaga kesehatan yang bergelut untuk merawat pasien selama pandemi Covid-19.

Sementara Marcus Rashford sukses memperjuangkan agar siswa-siswi sekolah dari kalangan tak mampu tetap mendapat makan siang gratis selama liburan sekolah.

Berkat perjuangan Rashford, pemerintah Perdana Menteri Boris Johnson berubah sikap dari rencana untuk menyetop penyediaan makan gratis selama musim liburan.

Teladan Southgate

Pujian terbesar diberikan kepada sang pelatih, Gareth Southgate, yang berhasil menghimpun berbagai individu dari klub-klub yang saling bersaing menjadi sebuah tim yang kohesif.

Di mata bekas pemain Inggris Rio Ferdinand, kematangan para pemain timnas ketika berbicara kepada media mencerminkan teladan Southgate yang sopan dan bijak.

Di awal karier Southgate sebagai pemain Crystal Palace, pelatihnya sempat menyarankan agar dia beralih pekerjaan ke industri travel karena dia dianggap terlalu pandai dan sopan di dunia sepak bola yang penuh pribadi urakan.

Southgate berasal dari keluarga menengah, berbeda dengan kebanyakan pemain sepak bola professional Inggris yang berasal dari kalangan pekerja.

Tapi di balik perilaku yang sopan itu terdapat pribadi yang teguh.

Misalnya, Southgate tak bergeming dari kritik para pengamat dan penggemar Inggris bahwa formasinya terlalu defensif.

Dia juga tak takut menghadapi kontroversi politik.

Dengan tegas dia mengatakan bahwa timnya akan berlutut sebelum setiap pertandingan sebagai dukungan terhadap Gerakan Black Lives Matter meskipun sikap itu dicemooh sebagian pendukung timnas maupun para politisi nasional.

Perang Budaya

Seperti di banyak negara Barat, Inggris sedang dilanda kultuurkampf, atau perang identitas budaya, yang secara garis besar menghadapkan golongan konservatif dan golongan progresif

Mereka yang setuju dengan BlackLivesMatter berpendapat gerakan itu adalah bentuk solidaritas atas diskriminasi rasial dan ketidakadilan.

Sementara yang anti mengatakan BlackLivesMatter merupakan gerakan politik Marxis yang bertujuan menggoyahkan sendi kebangsaan Inggris dengan menggugat borok sejarah masa lalunya.

BlackLivesMatter adalah perwujudan dari perang budaya yang juga tercermin dalam referendum Brexit yang berujung pada keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Antiasing

Efek samping dari Brexit, paling tidak menurut golongan yang pro Uni Eropa, adalah mencuatnya xenophobia di kalangan masyarakat Inggris.

Setelah Referendum Brexit 2016, muncul berbagai berita tentang meningkatnya sentimen permusuhan terhadap orang asing.

Sikap antiasing itu juga merembet ke sepak bola.

Setelah kemenangan Inggris melawan Denmark Rabu lalu, ada beberapa kejadian pemukulan dan intimidasi terhadap pendukung Denmark.

Ternyata di tengah eforia keberhasilan Inggris masuk final, masih ada indikasi bahwa hooliganisme sepak bola Inggris belum hilang.

Fakta bahwa pendukung Inggris suka ribut untuk hiburan punya sejarah panjang. Buktinya tak perlu dicari jauh-jauh.

Pada Euro 2016 di Prancis, para pendukung Inggris berbuat onar di Marseille.

Bila Inggris menjadi juara Euro 2020, seharusnya keadaan akan aman dan damai.

Bayangan saya akan ada pawai keliling kota London, pemerintah akan menetapkan libur nasional, dan setahun kemudian Gareth Southgate akan mendapat gelar “Sir”.

Tapi bagaimana kalau Inggris kalah?

Kekuatiran saya adalah keributan Euro ‘96 akan terulang.

Ketika Inggris dikalahkan Jerman lewat adu penalti di semifinal, ratusan pendukungnya melakukan perusakan di sekitar Trafalgar Square.

Apabila Inggris kalah (semoga tidak), dan masyarakat tetap tertib, itu baru bukti bahwa pendukung sepak bola Inggris sudah berubah.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU