> >

Pasar Tradisional sebagai Jantung Perekonomian Lower Class

Opini | 17 Januari 2021, 07:25 WIB
Pasar Tradisional (Sumber: Kompas.com)

Menurut Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 69,43% responden mengaku khawatir atau sangat khawatir keluar rumah dan 20,69% cukup khawatir keluar rumah, hal ini semakin mempersulit keberadaan pasar tradisional sebagai tempat transaksi jual beli masyarakat.

Masalah lain yang dialami pedagang adalah naik turunnya harga komoditas. Baru-baru ini menjelang tahun baru hingga hari ini harga cabai melonjak drastis dari yang semula harga Rp60.000/kg menjadi Rp120.000-Rp130.000/kg padahal petani sendiri menjual harga Rp30.000-Rp40.000/kg.

Lonjakan seperti ini harus menjadi evaluasi bersama jangan sampai pihak lain memanfaatkan situasi ini di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi ini.  

Analisis saya, lonjakan musiman ini sengaja dimainkan para tengkulak tanpa melihat situasi saat ini, seharusnya lebih mengedepankan pemerataan ekonomi antara petani, pedagang dan pembeli di pasar. Artinya antara supply and demand harus sesuai dan merata guna menghindari penimbunan.  

Rata-rata petani banyak yang terikat dengan tengkulak, karena mereka yang memodali pertaniannya sehingga hasil panennya pun sudah pasti dijual kepada para tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan. Ini yang kadang petani suka mengeluh.

Belum lagi yang dikeluhkan oleh pedagang kecil yaitu maraknya ekonomi kapitalis menguasai pasar-pasar kecil, sehingga kita bisa melihat sendiri minimarket berjibun hingga ke pelosok-pelosok.

Sebenarnya analisa saya melihat hal tersebut bukan hanya kontestasi dan kompetisi tetapi memang pendominasian ekonomi tanpa melihat warung tradisional sekitar. Contoh, si A sudah lama membuka warung sembako di pinggir jalan dan strategis. Melihat lokasi yang strategis dibukalah minimarket di situ sehingga saat peresmiannya pengunjung pun membludak.

Benar memang, kalau kita kaji konsep modern minimarket ini cukup bagus, konsep penataan dan display barang-barang terkadang ada magnet tersendiri menbuat pengunjung terkecoh, yang tidak ada niat membelipun dari rumah kadang ketika di minimarket mereka memborong semua padahal harganya lebih mahal dari warung warga.

Konsep ini sebenarnya bisa kita terapkan di warung-warung tradisonal dengan lokasi yang cukup luas dan penataan rak yang baik serta sistem digitalisasi dengan pembayaran nontunai.

Saya sebagai seorang yang tumbuh besar di lingkungan pesantren mewakili saya dan sahabat-sahabat saya yang langsung berkecimpung di dunia dagang tradisional seperti penjabaran di atas berharap melihat perjalanan perekonomian masyarakat kecil ada peningkatan lebih baik, dengan intervensi pemerintah bisa merevitalisasi pasar tradisional dan menjaga harga komoditi stabilitas serta adanya aturan yang mengatur dominasi ekonomi kapitalis.

Karena hampir 60% alumni pesantren tradisional yang ada di Indonesia setelah tamat dari pesantren menggantungkan pendapatan ekonominya dari berdagang, sisanya bertani, beternak, dan sedikit yang menjadi pegawai.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU