> >

Satu Jam Bersama Pak Jusuf Kalla di Vatikan

Opini | 24 Oktober 2020, 22:06 WIB
(Sumber: Padre Marco SVD. )

Lantas saya jelaskan kepada Pak JK bahwa ada aturan ukur suhu tubuh sebelum pergi lebih jauh dari situ.  Sebenarnya saya sudah klarifikasi hal ini dengan petugas penjaga pintu Quattro Cancelli sebelum kedatangan Pak JK.

Tapi ini aturan Vatikan untuk setiap pengunjung tanpa kekecualian.  Jadi Pak JK juga ikut aturan itu.  Ketika menjelaskan ini kepada Pak JK, beliau serta merta mengatakan: Tidak apa-apa Romo. Tadi saya juga sudah ukur suhu sebelum bertemu dengan Paus.  Tapi ini kan aturan di sini.

Saya merasa legah dan berkata dalam hati: Pak JK ini luarbiasa.  Sangat sadar dan patuh aturan. Beliau memberikan contoh yang baik. Sebenarnya ukur suhu tubuh juga tidak repot-repot. Jalan tiga meter ke titik telapak kaki. Berdiri menghadap kamera dua detik. Lalu kata pengukur: Beres.

Kami bergerak menuju Taman Borobudur di area Etnologi di lantai bawah Museum Vatikan. Ketika ada jedah sedikit, saya bertanya karena ingin tahu.  Pak, bagaimana kesan pertemuan dengan Paus tadi?  Spontan beliau menjawab: Bagus dan berkesan sekali.  Pikiran-pikiran Paus sangat jelas dan menarik.  Saya tidak ingin bertanya lebih lanjut. Apalagi jalan berkelok-kelok dan bertangga banyak. Jawaban itu saja sudah sangat menarik.

Di gerbang area Etnologi kami diterima oleh Padre Mapelli yang bertanggungjawab atas departemen Etnologi. Beliau pernah dua kali ke Indonesia untuk mengurus Taman Borobudur ini.  Pak JK merasa senang melihat Stupa Borobudur dan Patung Budha berukuran besar berdiri di ruang khusus beratap kaca. Di replika Borobudur yang dihadiahkan ke Vatikan sekitar sepuluh tahun lalu kami berdiri sejenak.  Pak JK berkomentar: Menarik.  Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, referensi budaya dan turisme adalah Borobudur, milik agama Buddha.

Di India yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, referensi budaya dan turismenya adalah Masjid Raya Taj Mahal, kata Pak JK.  Kami senyum dan mengangguk sepakat. Terus saya menyambung: Luar biasa Pak. Itu artinya orang tidak lupa akan sejarah. Simbol toleransi agama.

Museum Vatikan adalah salah satu Museum ternama dan terbesar di dunia.  Sebenarnya nama asli bahasa Italia “Musei Vaticani”. Dalam bentuk jamak. Artinya di dalam Museum itu, ada banyak Museum dengan berbagai obyek bersejarah sepanjang dua-ribuan tahun.  Sebelum masa covid-19, jumlah pengunjung bisa sampai enam juta per-tahun. Jadi Stupa Borobudur di Vatikan sudah menjadi obyek kekaguman banyak orang.

Kami lalu meninggalkan Padre Mapelli dan bergerak menuju Kapel Sixtin. Dalam perjalanan ke sana, saya menjelaskan kepada Pak JK tentang sejarah Kapel Sixtin.  Kapel yang dibangun oleh Paus Sixtus IV pada bagian kedua abad ke-15 ini menjadi penting dan terkenal karena:  pertama, merupakan satu-satunya Kapel di dunia yang berisi lukisan-lukisan Michael angelo.

Dua lukisan yang terkenal sekali adalah penciptaan manusia pertama (Adam), di mana Tuhan dan Adam berbaring sambil merentangkan tangan ke arah satu sama lain pertanda saling merindukan dan saling mencari, tetapi jari telunjuk mereka tidak bisa bersentuhan. Dan lukisan terkenal lainnya adalah Pengadilan Terakhir.

Yang kedua:  Kapel Sixtin adalah tempat pemilihan para Paus yang dikenal dengan nama “Konklaf” (dengan kunci; di balik ruang tertutup).  Lantas Pak JK menyambung: Oh, yang ada asap hitam dan putih itu.  Lalu saya menjelaskan secara ringkas apa itu “Konklaf”  dan bagaimana prosedur pemilihan seorang Paus. Pak JK menyambung: Oh, jadi sangat demokratis.

Di Kapel Sixtin Pak JK memilih untuk berdiri saja supaya lebih leluasa melihat keindahan lukisan-lukisan Michelangelo di abad pencerahan (renaissance) ini. Beliau kelihatan sangat kagum. Oleh karena keterbatasan waktu, mengingat beliau harus bergegas ke bandara Leonardo da Vinci untuk meneruskan perjalanan ke Riyadh dan Mekkah di Arab Saudi, maka kami berhenti di sini.

Dalam perjalanan kembali, saya menyempatkan diri untuk berbicara dengan Pak JK tentang berbagai hal, termasuk situasi  politik Indonesia saat ini.  Kata beliau: Suhu politik kita naik turun. Ada banyak demo. Pada akhirnya kami berdua sama-sama berharap agar hal ini akan segera berakhir. Tak lupa beliau mengajak untuk nanti bertemu kembali di Jakarta. Beliau tertarik untuk membahas lebih banyak soal dialog lintas agama untuk perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Dengan senang hati saya menyambut keinginan dan ajakan beliau.

Di pintu keluar kami sempat berfoto bersama. Sebelum berpisah saya membisik halus ke beliau: Pak, jangan lupa selalu pakai masker ya. Covid di mana-mana sedang menular drastis. Beliau angguk sambil saling menepuk bahu pengganti jabat tangan.

Sebuah pertemuan indah dengan banyak pesan eksplisit dan implisit yang pasti akan selalu membekas di dalam hati dan ingatan.  Kalau pun banyak hal akan hanyut terkikis oleh waktu, minimal satu hal ini menarik untuk dikenang: Dari Jakarta ke Vatikan, lalu ke Riyadh dan Mekkah, kemudian kembali ke Jakarta.

Penulis : Zaki-Amrullah

Sumber : Kompas TV


TERBARU