> >

Peneliti: Pemberitaan Corona Sebabkan Keresahan Yang Tidak Dibenarkan Angka-angka Aktual

Kompas dunia | 19 Mei 2020, 06:09 WIB

JERMAN, KOMPAS TV -

Virus Corona (Sumber: kompas.com)

Pandangan para ahli di dunia terkait epidemi Covid-19 belakangan ini terpolarisasi. Seperti apa padangan para ahli yang menilai bahwa corona tidak lebih berbahaya dibanding penyakit sejenis lain. Dilansir dari Majalah Ilmu Pengetahuan Jerman (Blauer Bote Magazin) yang mengangkat tema melawan propaganda terkait wabah corona, dengan pernyataan pakar-pakar terkemuka dunia.

Berikut petikan pandangan para ahli dan pakar terkait wabah Covid-19:

1. Profesor Dr. Klaus Püschel, Kepala Forensik Medis di Hamburg-Jerman, bersama sejumlah tim-nya telah meneliti para korban corona yang meninggal.
Ia menuntut Kanzelir Angela Merkel mulai mencabut lockdown, karena ini saat yang tepat.

Menurut temuannya, Covid-19 adalah virus yang tidak terlalu berbahaya. Jerman harus belajar hidup dengan virus itu tanpa karantina.
Kematian yang diperiksanya, semua memiliki penyakit serius sebelumnya, sehingga kendati berat untuk dikatakan, mereka semua toh akan mati pada tahun ini. 

2. Profesor Dr. Dr. Martin Haditsch, spesialis mikrobiologi, virologi dan epidemiologi infeksi, Austria, menyesalkan banyaknya hambatan untuk melaksanakan penelitian post mortem, dengan alasan protokol Covid-19 untuk perlindungan infeksi.
Akibatnya tidak bisa diketahui penyebab kematian sebenarnya dari mereka yang dites positif.

Otopsi minimal atau terbatas hanya menemukan apa yang dicari, tetapi temuan penting lainnya tidak terdeteksi. Seandainya dapat diteliti dengan seksama, kematian akibat corona sebenarnya jauh lebih sedikit, dari pada angka-angka yang dilaporkan.

3. Dr. Bodo Schiffmann, seorang dokter ahli, menegaskan, ketakutan terhadap Covid-19 didasarkan pada perkiraan angka kematian yang tinggi, seperti dikatakan WHO dan banyak organisasi lain, meliputi 2-4% dari mereka yang tertular.

Menurut Schiffmann, ini salah besar. Penularan virus sulit sekali dicegah, sehingga jumlah infeksi sebenarnya jauh lebih besar daripada yang resmi dilaporkan. Maka tingkat kematian sebenarnya jauh lebih rendah daripada angka-angka menakutkan itu. 

4. Profesor Dr. Eran Bendavid dan Profesor Dr. Jay Bhattacharya, para profesor medis di Stanford University, AS, mengatakan,"Saya menyarankan untuk lebih sedikit menghabiskan waktu menonton berita televisi yang cenderung sensasional. Ini tidak sehat. Covid ini tidak beda dari epidemi flu musim dingin yg buruk."

Data tahun lalu ada 8000 kematian pada kelompok beresiko, dimana 65% lebih adalah pengidap sakit jantung.
Dan kematian Covid sekarang ini tidak melebihi angka itu. Jadi kita saat ini dilanda epidemi media, ungkap Bendavid.

5. Profesor Dr. John Oxford dari Universitas Queen Mary London, Inggris, ahli virologi dan influenza terkemuka di dunia, menegaskan, bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah mengendalikan kecemasan.
Media telah menyebabkan kepanikan yang tidak perlu. Media terus-menerus memberitakan peningkatan jumlah kumulatif kasus dan kematian, dan tak hentinya menyoroti para selebritas yang terinfeksi Covid.

Padahal, sejak September tahun lalu virus lain telah membuat 36 juta orang Amerika sakit flu dan membunuh 22 ribu diantaranya, namun tidak ada kehebohan sebab tidak diberitakan.

6. Profesor Dr. Michael Levitt, Profesor Biokimia, Universitas Stanford, AS, pemenang hadiah Nobel Kimia 2013, menjelaskan, jika tiga kali lipat pengetesan dilakukan maka hasilnya yang terinfeksi juga lebih dari tiga lipat.

Hal ini membiaskan perhitungan angka kematian akibat corona. Angka yang menunjukkan jumlah terinfeksi itu dan kenaikannya, selalu dijadikan dasar para pemerintahan menentukan kebijakan. Padahal itu bukan angka aktual.

7. Profesor Dr. Gerd Bosbach, profesor statistik, matematika dan penelitian ekonomi dan sosial empiris, serta penulis buku terkenal "Dusta Dengan Angka": Kami sudah tahu coronavirus dari masa lalu.
Data faktual menunjukkan bahwa Covid-19 ini kurang berbahaya daripada influenza, yang pernah menjadi wabah serius pada tahun 2017 dengan 27.000 kematian di Jerman.

"Kita tidak boleh secara berlebihan hanya peduli pada Corona saja, yang justru memarakkan bencana wabah penyakit lainnya, " jelas Gerd Bosbach.

8. Profesor Dr. Jochen A. Werner, Direktur Medis dan CEO University Medical Center Essen, mengatakan, bahwa kemungkinan penerapan herd-immunity (upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan cara membiarkan imunitas alami tubuh) lebih cocok melawan virus corona ini.
Data di Korea Selatan menunjukkan 99% kasus aktif hanya menunjukkan gejala ringan dan tidak memerlukan perawatan medis.

Kematian karena Covid-19 hanya ditemukan pada orang-orang tua atau mereka yang punya penyakit kronis, seperti diabetes dan jantung.
Sementara, virus flu tidak cuma menyerang orang-orang tua dan orang sakit kronis, tetapi juga membunuh anak-anak.

9. Dr. David Katz, Universitas Yale, AS, direktur pendiri Pusat Penelitian Pencegahan Universitas Yale: Tidak cukup bukti ilmiah yang memastikan tentang besarnya risiko kematian akibat Covid-19.
Kematian yang dilaporkan, adalah 3,4% dari laporan resmi WHO, terkesan mengerikan, namun tidak berarti.
Pasien yang telah dites SARS-CoV-2 secara tidak proporsional sangat besar yang sudah mengidap penyakit parah atau kondisi kesahatan yang buruk lainnya.
Karena sebagian besar sistem kesehatan global memiliki kapasitas pengujian yang terbatas, kesimpulan yang bias segera mencuat tanpa kendali.
Padahal tingkat kematian secara keseluruhan yang 0,05% itu lebih rendah dari flu musiman yang sudah ada sebelumnya.

Oleh sebab itu, lockdown di banyak bagian dunia berpotensi implikasi sosial dan ekonomi yang sangat besar dan sangat tidak rasional. 

10. Profesor Dr. John Ioannidis, Universitas Stanford, AS, mengemukakan bahwa corona ini adalah wabah kepanikan massal.
Satu musim flu rata-rata membunuh sekitar 500.000 orang, Namun tidak ada tindakan khusus yang diambil selama pandemi influenza.

11. Profesor Dr. Peter C. Gotzsche, peneliti medis dan profesor di University of Copenhagen mengatakan, "Menurut saya, virusnya hampir sama bahayanya dengan influenza. Kami melihat ini dalam angka kematian, yaitu sekitar 0,3 hingga 0,7 persen. Itu yang kita lihat pula pada influenza. Kasusnya mirip. Ini adalah penyakit mirip dengan influenza biasa yang juga menular. Campak bahkan jauh lebih berbahaya."

12. Profesor Dr. Stefan Hockertz, ahli imunologi dan toksikologi dan Profesor Dr. Andrea Edenharter, profesor hukum, mengungkapkan, "Kebijakan pembatasan berlebihan saat ini tidak berdasar secara legalitas hukum. Jurnalisme kini seperti burung beo tanpa kritik dan tidak memiliki logika. Jurnalis bersama politisi kini saling memainkan puting-beliung yang memaksakan kondisi saat ini, sehingga pihak ketiga yang beda tidak bisa lagi berembuk. Ini kematian dari keterbukaan, yang amat sulit dihidupkan kembali."

13. Profesor Dr. Michael Meyen, Profesor Ilmu Komunikasi di Ludwig Maximilian University of Munich: 'Pemberitaan corona merupakan pelanggaran konstitusional yang menyebabkan keresahan.'

14. Prof. Schulte-Markwort: 'Ketakutan corona terselubung tidak dibenarkan oleh angka-angka aktual.'

Berdamai Dengan Covid-19 Dengan Menerapkan Tatanan Kehidupan Normal Baru yang Sehat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, (7/5/2020). (Sumber: YouTube: Sekretariat Presiden)

Organisasi kesehatan dunia (WHO) peringatkan masyarakat dunia bahwa virus corona mungkin saja tidak akan pernah hilang dari muka bumi.
Tidak ada pula yang bisa memprediksi kapan pandemi corona bisa dikendalikan.

"Virus ini bisa menjadi endemik lain di komunitas kita, virus ini mungkin tidak akan pernah hilang. Saya pikir penting bagi kita bersikap realistis. Tidak ada satu pun pihak yang bisa memprediksi kapan pandemi ini berakhir," kata Direktur Kedaruratan WHO, Michael Ryan.

Presiden Joko Widodo sempat berpesan agar masyarakat tetap produktif di tengah pandemi.
Pasalnya masyarakat kini diminta mulai terbiasa hidup berdampingan dengan virus corona.

"Kita harus berkompromi dengan Covid bisa hidup berdampingan dengan Covid, yang kemarin saya bilang kita harus berdamai dengan Covid," kata Jokowi.

Instagram Presiden Joko Widodo (Sumber: Instagram)

Di akun instagram-nya, Jokowi juga menyebut tentang saatnya untuk berdamai dengan corona.
Beberapa waktu lalu saya menyampaikan bahwa kita harus berdamai dengan Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan Covid-19.
Mengapa? Karena ada potensi bahwa virus ini tidak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat.
Berdampingan bukan berarti menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus ini dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat. Pemerintah terus melakukan pemantauan berdasarkan data dan fakta di lapangan untuk menentukan periode terbaik bagi masyarakat agar kembali produktif namun tetap aman dari Covid-19. Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas.
Covid-19 ini penyakit berbahaya, tapi kita bisa mencegah dan menghindarinya asal disiplin menjaga jarak aman, cuci tangan setelah beraktivitas, dan memakai masker. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal life atau tatanan kehidupan normal yang baru.

Terkait pernyataan tersebut, masyarakat pun beranggapan bahwa pemerintah Indonesia sudah menyerah. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan pun menyangkal dengan pemikiran masyarakat tersebut.

"Berdamai yang dimaksud itu kan di dalam bencana itu ada harmoni dengan bencana kan, jadi itu juga satu term yang diasah di dalam kehidupan kita dalam situasi kebencanaan," kata Abetnego.

Ajakan pemerintah kepada masyarakat untuk terbiasa hidup berdampingan dengan virus corona diminta harus juga perhatikan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kelompok rentan.

Siapkah masyarakat untuk mulai hidup sehat dengan menerapkan protokol Covid-19 seperti menjaga jarak, menggunakan masker, dan menghindari kerumunan?
 

Penulis : Herwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU