> >

Rivalitas AS-China Kembangkan Pasukan Drone dengan Kecerdasan Buatan, AI Digunakan untuk Membunuh?

Kompas dunia | 13 April 2024, 10:46 WIB
Tentara Inggris meluncurkan sebuah drone selama latihan Proyek Konvergensi di Fort Irwin, California, pada 4 November 2022. Di tengah ketegangan yang tinggi seputar Taiwan, para perencana militer AS dan China bersiap untuk jenis perang baru di mana kapal perang, jet tempur, dan pendaratan amfibi menjadi kurang dominan, digantikan oleh skuadron drone udara dan laut yang didukung kecerdasan buatan. (Sumber: AP Photo)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Perencana militer China dan Amerika Serikat sedang menyiapkan jenis perang baru saat persaingan kedua negara semakin sengit. Mereka membayangkan penggunaan skuadron drone udara dan laut yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI), bekerja bersama seperti kawanan lebah, untuk menghancurkan musuh dengan efektif dan efisien.

Para perencana memvisualisasikan skenario di mana ratusan, bahkan ribuan drone terlibat dalam pertempuran yang terkoordinasi dengan kecerdasan buatan atau AI.

Seorang pengendali tunggal dapat mengawasi puluhan drone. Ada yang mengintai, sementara yang lain menyerang. Beberapa dapat beralih ke sasaran baru dalam misi mereka berdasarkan program sebelumnya, tanpa perlu perintah langsung.

AS dan China, sebagai pemimpin teknologi kecerdasan buatan, sedang terlibat dalam perlombaan senjata untuk mengembangkan teknologi drone berkelompok. Ini mengingatkan pada periode Perang Dingin, meskipun kendali terhadap teknologi drone jauh lebih rumit daripada senjata nuklir.

Karena teknologi pasukan drone didorong oleh perangkat lunak, maka mudah dan murah bagi negara-negara yang tidak bertanggung jawab dan kelompok militan untuk memiliki armada drone pembunuh mereka sendiri.

Pentagon mempercepat pengembangan drone murah sebagai upaya pencegah terhadap klaim wilayah Taiwan oleh China.

Washington mengatakan mereka tidak punya pilihan selain untuk terus mengikuti perkembangan teknologi yang dilakukan oleh Beijing. Pejabat China mengatakan senjata berbasis kecerdasan buatan adalah hal yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka juga merasa perlu untuk memiliki teknologi tersebut.

Namun, penyebaran teknologi kawanan drone yang tidak terkontrol ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan dan konflik di seluruh dunia,” kata Margarita Konaev, seorang analis di Pusat Keamanan dan Teknologi yang Muncul dari Universitas Georgetown.

Baca Juga: PLTN Zaporizhzhia Diserang Drone, Rusia dan Ukraina Saling Tuduh

Drone dalam latihan perang kota di Fort Campbell, Tennessee, di mana seorang operator mengawasi lebih dari 100 drone udara dan darat murah. Dengan ketegangan meningkat tentang Taiwan, para perencana militer AS dan China sedang bersiap untuk jenis perang baru yang lebih mengandalkan drone udara dan laut dengan teknologi AI daripada kapal perang, jet tempur, dan pendaratan amfibi. (Sumber: AP Photo)

Meskipun AS dan China merupakan pemimpin dalam bidang ini, namun persaingan yang intens antara keduanya, ditambah dengan agresi militer China di Laut Cina Selatan yang dianggap oleh Barat sebagai tindakan provokatif, serta ketegangan yang makin hebat seputar Taiwan, membuat prospek kerjasama terlihat suram.

Ide ini sebenarnya bukanlah hal baru. PBB telah berusaha lebih dari satu dekade untuk memajukan upaya non-proliferasi drone yang bisa mencakup batasan seperti melarang penargetan warga sipil atau melarang penggunaan kawanan untuk pembersihan etnis.

Drone telah menjadi prioritas bagi kedua kekuatan selama bertahun-tahun, dan setiap pihak menyimpan kemajuan mereka secara rahasia, sehingga tidak jelas negara mana yang mungkin memiliki keunggulan.

Tidak jelas berapa banyak drone yang dapat dikendalikan oleh satu orang. Seorang juru bicara dari kantor menteri pertahanan menolak untuk berkomentar, tetapi sebuah studi yang didukung oleh Pentagon yang baru saja diterbitkan memberikan petunjuk: Seorang operator tunggal mengawasi kawanan lebih dari 100 drone udara dan darat murah pada akhir tahun 2021 dalam latihan perang perkotaan di situs pelatihan Angkatan Darat di Fort Campbell, Tennessee.

Tidak mau kalah, militer China tahun lalu mengklaim puluhan drone udara “menyembuhkan diri” setelah gangguan pengacakan komunikasi mereka.

Sebuah dokumenter resmi mengatakan mereka berkumpul kembali, beralih ke panduan mandiri, dan menyelesaikan misi pencarian dan penghancuran tanpa bantuan, meledakkan drone yang diberi bahan peledak tepat pada target.

Setahun yang lalu, Direktur CIA William Burns mengatakan pemimpin Partai Komunis China Xi Jinping memerintahkan militer "siap pada 2027" untuk menyerang Taiwan. Tetapi itu belum berarti invasi mungkin terjadi.

Sesaat sebelum ia meninggal tahun lalu, mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger mendesak Beijing dan Washington bekerja sama untuk mencegah penyebaran senjata berbasis kecerdasan buatan atau AI. Mereka punya "jendela kesempatan yang sempit," kata Kissinger.

Xi dan Presiden Joe Biden membuat kesepakatan verbal pada November untuk membentuk kelompok kerja tentang keamanan AI, tetapi upaya itu sejauh ini dikesampingkan oleh perlombaan senjata drone otonom.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Associated Press


TERBARU