Kehidupan Desa Perbatasan Lebanon Mulai Terlihat di Tengah Gencatan Senjata Hamas-Israel yang Rapuh
Kompas dunia | 27 November 2023, 07:45 WIBKFAR KILA, KOMPAS.TV - Hari kedua dari gencatan senjata empat hari antara Hamas dan Israel memunculkan kembalinya kehidupan desa-desa di daerah perbatasan selatan Lebanon.
Meski gencatan senjata tersebut rapuh, atmosfer hati-hati membawa warga kembali ke keseharian mereka, setidaknya untuk sementara.
Toko-toko kembali dibuka, mobil yang melintas, dan keluarga yang liburan berfoto di depan tulisan berwarna cerah "I (HEART) ODAISSEH", sekitar 55.500 warga Lebanon yang terusir selama bentrokan antara Hizbullah dan pasukan Israel mencoba mengembalikan sedikit normalitas ke hidup mereka seperti laporan Associated Press, Minggu, (26/11/2023).
Menurut data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), pertempuran di perbatasan Lebanon telah membunuh lebih dari 100 warga Lebanon, termasuk lebih dari selusin warga sipil, tiga wartawan, dan 12 orang di pihak Israel, termasuk empat warga sipil.
Meskipun Lebanon dan Hizbullah tidak secara langsung terlibat dalam gencatan senjata, warga Lebanon memanfaatkan kesempatan ini untuk memeriksa rumah yang rusak atau mengambil barang-barang pribadi mereka. Sebagian ada yang kembali dengan harapan dapat menjalani kehidupan normal kembali.
Abdallah Quteish, seorang mantan kepala sekolah yang telah pensiun, dan istrinya, Sabah, melarikan diri dari rumah mereka di desa Houla pada hari kedua bentrokan.
Setelah menghabiskan waktu bersama putri mereka di utara, mereka kembali ke rumah dan kebun zaitun mereka, meskipun musim panen telah terlewatkan.
Baca Juga: Tidak Hanya Serang Pasukan Perdamaian PBB, Israel Tembaki Mobil Warga dan Petani di Lebanon Selatan
"Sangat disayangkan kami kehilangan (panen) musim ini, tetapi yang terpenting adalah kami baik-baik saja," ujar Sabah. "Kami berharap bisa tetap tinggal di rumah jika situasinya tetap stabil."
Namun, tidak semua orang penuh harapan. Di desa Marwaheen, Khalil Ghanam datang untuk mengemas sisa stok dari kafetaria miliknya, tutup sejak serangan Israel pada 13 Oktober, yang menewaskan jurnalis Reuters Issam Abdallah. Ghanam menyatakan kekhawatirannya tentang situasi sulit yang mungkin terus berlanjut.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Associated Press