> >

Sejarah Konflik Israel-Palestina: Janji Inggris dalam Deklarasi Balfour hingga Pembantaian Nakba (I)

Kompas dunia | 12 Oktober 2023, 08:05 WIB
Ilustrasi. Seorang pria tampak mengibarkan bendera Palestina. (Sumber: AP Photo)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, tak ujug-ujug menyerang Israel pada Sabtu pagi 7 Oktober 2023 lalu. Serangan tak terduga yang membuat intelijen Israel kebakaran jenggot itu berakar dari sejarah panjang konflik antara kedua negara lebih dari 100 tahun lalu, yang melibatkan Inggris.

Dan konflik antara Israel dan Palestina itu kembali memanas saat Hamas membuat Israel kalang kabut pada Sabtu pekan lalu. Ratusan warga Israel tewas setelah serbuan kelompok militan Palestina, Hamas, yang berhasil menerobos blokade keamanan di Jalur Gaza.

Tindakan Hamas tersebut langsung dibalas oleh Israel yang melakukan serangan balasan melalui darat dan udara. Gedung-gedung di Gaza pun hancur dan ratusan warga sipil Palestina menjadi korban tewas.

Hingga Rabu (11/10/2023), belum ada tanda-tanda eskalasi konflik menurun. Israel saat ini menerapkan blokade total di Jalur Gaza dengan memutus akses aliran listrik dan melarang air, makanan serta bahan bakar untuk masuk.

Sementara di kubu Hamas, mereka juga enggan menyerah dan mengancam akan mengeksekusi sandera apabila Israel menyerang bangunan warga sipil tanpa peringatan.

Total korban dari kedua pihak pun telah mencapai ribuan, baik yang tewas atau mengalami luka-luka.

Lantas bagaimana akar sejarah konflik Israel-Palestina? Berikut penjelasannya.

Deklarasi Balfour

Dilansir dari Al Jazeera, konflik Israel-Palestina bermula lebih dari 100 tahun lalu, tepatnya pada 2 November 1917, ketika Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.

Baca Juga: Update Gaza Hari Ini: Kementerian Kesehatan Palestina Sebut 1.055 Warga Tewas, 5.184 Orang Terluka

Surat singkat berisi 67 kata itu mengandung perjanjian yang mengikat Pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” dan memfasilitasi “pencapaian tujuan ini”.

Intinya, surat yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini, menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di mana lebih dari 90 persen penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.

Mandat Inggris kemudian dibuat pada tahun 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi imigrasi massal orang Yahudi, yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa serta menghadapi protes dan pemogokan.

Jelas, langkah ini membuat penduduk asli di Palestina khawatir. Mereka was-was dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah yang dilakukan oleh Inggris untuk diserahkan kepada warga Yahudi.

Seiring berjalannya waktu, ketegangan pun meningkat. Pemberontakan Arab pun berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.

Pada bulan April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi.

Hal tersebut dilakukan guna memprotes kolonialisme Inggris serta meningkatnya imigrasi Yahudi ke Palestina.

Pemogokan yang berlangsung selama 6 bulan tersebut kemudian dibalas Inggris dengan melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina saat ini.

Fase kedua pemberontakan kemudian dimulai pada akhir tahun 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV/Al Jazeera/Associated Press


TERBARU