> >

PBB: Pembatasan Bantuan oleh Junta Militer Myanmar Bisa Masuk Kategori Kejahatan Perang

Kompas dunia | 1 Juli 2023, 02:05 WIB
Pembatasan bantuan penyelamatan yang diterapkan junta militer Myanmar semakin parah. Sikap ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, seperti perlakuan yang merendahkan martabat, kelaparan, dan hukuman kolektif, seperti disebut dalam laporan Kantor HAM PBB hari Jumat, (30/6/2023). (Sumber: Kantor HAM PBB / OHCHR)

JENEWA, KOMPAS.TV - Pembatasan bantuan penyelamatan yang diterapkan oleh junta militer Myanmar dinilai semakin parah. Kebijakan junta militer Myanmar bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, seperti perlakuan yang merendahkan martabat, kelaparan, dan hukuman kolektif, seperti disebut dalam laporan Kantor HAM PBB, Jumat (30/6/2023).

Sejak 1 Februari 2021, militer mengutamakan tujuan mereka daripada memperhatikan kebutuhan mendesak masyarakat yang terkena konflik untuk mendapatkan bantuan penyelamatan nyawa. Bahkan ketika pekerja kemanusiaan diizinkan masuk, mereka sangat dibatasi dan dikendalikan dalam memberikan bantuan.

Junta militer Myanmar berperilaku seolah-olah mereka yang memberikan bantuan adalah musuh, bukannya menghormati kebutuhan masyarakat sipil yang membutuhkan perlindungan dan bantuan di saat krisis, kata laporan PBB.

Situasi yang sudah buruk di lapangan semakin diperparah oleh pembatasan bantuan yang diterapkan oleh militer setelah Siklon Mocha pada bulan Mei, yang menyebabkan penderitaan lebih banyak bagi penduduk di bagian barat dan barat laut negara tersebut.

Laporan ini menjelaskan bahwa penghalangan atau penolakan sengaja terhadap bantuan kemanusiaan dapat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan internasional, atau kejahatan perang.

Militer menggunakan strategi 'empat bacokan' yang ikut membunuh dan melukai ribuan warga sipil serta menghancurkan barang dan infrastruktur yang penting untuk bertahan hidup, termasuk makanan, tempat berlindung, dan pusat medis.

Secara keseluruhan, laporan PBB menyatakan bahwa setidaknya 3.452 orang telah tewas di tangan militer dan afiliasinya, dan 21.807 individu telah ditangkap sejak pengambilalihan militer hingga April 2023, mengutip "sumber yang kredibel".

"Penyedia bantuan secara konsisten terpapar risiko penangkapan, pelecehan, atau perlakuan lain yang tidak menyenangkan, atau bahkan kematian," kata Juru Bicara Hak Asasi Manusia PBB, Ravina Shamdasani, dalam jumpa pers.

Baca Juga: Milisi Pendukung Junta Militer Myanmar Membelot, Sejumlah Pos Perbatasan Myanmar Sempat Direbut

Dua warga desa yang menjadi korban pembantaian pasukan junta militer Myanmar di Desa Nyaung Yin, wilayah Sagaing, 2 Maret 2023. Pembatasan bantuan penyelamatan oleh junta militer Myanmar semakin parah dan bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, seperti perlakuan yang merendahkan martabat, kelaparan, dan hukuman kolektif, seperti disebut dalam laporan Kantor HAM PBB, Jumat (30/6/2023). (Sumber: Associated Press)

Sekitar 17 juta orang di negara tersebut, atau sekitar sepertiga dari populasi, membutuhkan bantuan, kata PBB.

Krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan di Myanmar sangat besar. Sekitar 1,5 juta orang menjadi pengungsi di dalam negeri, dan sekitar 60.000 bangunan sipil dilaporkan telah dibakar atau dihancurkan. Lebih dari 17,6 juta orang, atau sepertiga dari total populasi, membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Laporan ini juga mencatat bahwa situasi keamanan semakin memburuk bagi pekerja kemanusiaan sejak kudeta. Mereka secara konsisten berisiko ditangkap, diintimidasi, atau bahkan diperlakukan dengan buruk atau dibunuh.

Menurut hukum hak asasi manusia internasional dan hukum kemanusiaan internasional, masyarakat yang membutuhkan berhak menerima bantuan untuk memastikan hak mereka atas makanan, tempat berlindung, dan kesehatan dihormati. Semua pihak harus memperbolehkan dan memfasilitasi bantuan penyelamatan nyawa tanpa hambatan kepada semua yang membutuhkannya.

Dalam konteks konflik bersenjata, penghalangan atau penolakan sengaja terhadap bantuan kemanusiaan juga dapat dianggap sebagai kejahatan perang seperti pembunuhan, penyiksaan, kelaparan, dan hukuman kolektif.

Tindakan penolakan ini juga bisa dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, eksterminasi, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau penganiayaan, jika dilakukan dalam serangan terhadap penduduk sipil secara meluas atau sistematis.

Kepala Kantor Hak Asasi Manusia PBB akan menyampaikan laporan ini kepada Dewan Hak Asasi Manusia dalam pekan depan.

Juru bicara militer Myanmar tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar. Junta militer telah membantah menargetkan warga sipil dan mengatakan bahwa operasinya ditujukan kepada "teroris" yang ingin mengacaukan negara.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : OHCHR / France24


TERBARU