Media Asing Ungkap Presiden Jokowi Bersuara Keras Atas Kritik Lambatnya Penyelesaian Masalah Myanmar
Kompas dunia | 12 Mei 2023, 05:15 WIBLABUAN BAJO, KOMPAS.TV – Media asing melaporkan diksi suara keras Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap mereka yang mengkritik kurangnya kemajuan dalam penerapan rencana perdamaian ASEAN untuk menyelesaikan krisis di Myanmar.
Demikian dilaporkan oleh Straits Times pada Kamis (11/5/2023).
Indonesia, yang menjabat sebagai ketua ASEAN, mengatakan bahwa mereka mengadopsi kebijakan "non-megaphone" yang tenang dalam upaya mengakhiri kekerasan di Myanmar. Mereka telah melakukan lebih dari 60 pertemuan dengan berbagai pihak terkait, tetapi para penentang mengeluhkan kemajuan yang lambat dan menuntut tindakan yang lebih tegas terhadap rezim militer Myanmar.
"Engagement (keterlibatan) tidak berarti pengakuan, itulah mengapa saya menyampaikan di pertemuan ASEAN bahwa persatuan ASEAN sangat penting. Tanpa persatuan, mudah bagi pihak lain untuk memecah belah ASEAN, dan saya yakin tidak ada negara ASEAN yang menginginkan hal itu," ujar Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers pada hari Kamis, (11/5/2023), untuk menutup KTT ASEAN selama dua hari di Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
"Tidak ada pihak di dalam atau di luar ASEAN yang boleh memanfaatkan konflik internal di Myanmar. Kekerasan harus dihentikan, dan rakyat harus dilindungi," tambahnya.
Konsensus lima poin dibentuk oleh ASEAN pada April 2021 sebagai upaya untuk menyelesaikan krisis yang dipicu oleh kudeta militer Myanmar pada bulan Februari tahun itu, yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan mengungsi ratusan ribu orang.
Konsensus tersebut menyerukan dialog antara semua pihak, penghentian segera kekerasan di Myanmar, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi mediasi, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan delegasi ASEAN ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak yang terkait.
Dalam sesi rapat sebelumnya, Widodo mengajukan "persatuan di ASEAN untuk merumuskan langkah ke depan kita" dalam menyelesaikan krisis di Myanmar yang dikuasai militer. Ia mengakui bahwa "tidak ada kemajuan yang signifikan" dalam rencana perdamaian tersebut.
Baca Juga: Pernyataan Lengkap Jokowi soal Hasil KTT ASEAN 2023
Sementara itu, ada juga kebutuhan untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak di Myanmar. Menurut PM Lee, perlu ada upaya untuk mempengaruhi hal-hal yang lebih baik sehingga para pihak dapat saling berbicara dan bantuan kemanusiaan dapat diberikan, jika memungkinkan, sehingga kekerasan dapat dihentikan.
"Ini sangat sulit dilakukan. Akan memakan waktu yang lama," tambah Lee.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, yang berada di konferensi pers bersama Presiden Joko Widodo, mengatakan kurangnya kemajuan dalam implementasi konsensus "tidak berarti ASEAN harus menyerah, terutama menyerah pada prinsip dalam Piagam ASEAN" yang, antara lain, menyatakan pengambilan keputusan harus didasarkan pada konsultasi dan konsensus dengan negara anggota.
Dalam sesi wawancara singkat setelah konferensi pers, Retno mengatakan kepada wartawan bahwa beberapa kemajuan telah dicapai dalam implementasi rencana perdamaian, seperti akses ke pihak-pihak terkait dalam distribusi bantuan kemanusiaan.
"Sekarang, akses telah diberikan, sehingga mereka dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait... dan kami akan terus memperluas pengiriman bantuan kemanusiaan."
Menanggapi pertanyaan dari The Straits Times tentang perbedaan pandangan di antara para pemimpin dalam menangani krisis tersebut, Retno mengatakan, "Hal ini sangat wajar bahwa ada perbedaan pandangan."
"Tapi yang jelas adalah bahwa semua pemimpin sepakat akan pentingnya mendesaknya implementasi konsensus lima poin. Kita masih bersatu dan kuat dalam melihat kepentingan mendesak dalam melaksanakannya," tambahnya.
Dia mengatakan, "Belum mencapai kesepahaman bersama tidak berarti tidak akan ada solusi. Kita akan mencoba lagi dan lagi. Dan kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama."
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Straits Times