> >

Macron Tegaskan Prancis Tidak akan Jadi Negara Bawahan AS dan Eropa Perlu Miliki Otonomi Strategis

Kompas dunia | 13 April 2023, 06:05 WIB
Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Presiden Prancis Emmanuel Macron hari Rabu, (12/4/2023) di Amsterdam mempertahankan pernyataannya yang kontroversial bagi AS dan Barat tentang Taiwan, menegaskan bahwa menjadi sekutu Amerika Serikat bukan berarti menjadi negara vasal atau negara bawahan Amerika Serikat. (Sumber: AP Photo/Michel Euler, Pool, File)

Ketika Presiden Emmanuel Macron menuju ke Beijing minggu lalu untuk kunjungan kenegaraan pertama seorang presiden Prancis sejak pandemi Covid, para ahli mencatat bahwa perjalanan tersebut akan memerlukan "keseimbangan" pasca invasi Rusia ke Ukraina, yang merupakan sekutu Beijing.

Namun, di tengah perjalanan pulang dari Beijing, Macron menekankan Eropa harus menentukan kebijakan sendiri terkait Taiwan untuk menghindari menjadi "pengikut" dari "agenda" Washington di kawasan tersebut.

Dalam wawancara dengan situs web Politico dan dua organisasi berita Prancis lainnya, Macron mencatat, "pertanyaan yang harus dijawab oleh Eropa ... apakah kepentingan kita mempercepat [krisis] di Taiwan? Tidak. Hal terburuk adalah berpikir kita Eropa harus menjadi pengikut dalam masalah ini dan mengikuti agenda AS dan reaksi berlebihan dari China".

Baca Juga: Prancis Minta Eropa Jangan Ikut-ikut Ketegangan China-AS, Gedung Putih: Kami Tetap Sekutu Akrab

 

Reaksi di seberang Atlantik cepat dan tajam.

"Emmanuel Macron merasa seperti Charles de Gaulle untuk abad ke-21, yang mencakup menjaga jarak Eropa dari AS," dimulai sebuah editorial yang tajam pada hari Minggu di Wall Street Journal, "Tidak ada yang ingin krisis di Taiwan, apalagi mempercepatnya, tetapi mencegahnya memerlukan penangkal yang dapat dipercaya," lanjut editorial itu.

Kunjungan Macron pekan lalu berlangsung saat Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen bertemu dengan Ketua Kongres AS Kevin McCarthy AS selama singgah di California, memicu Beijing meluncurkan latihan militer di sekitar pulau yang dikuasai sendiri itu.

Latihan militer tiga hari dimulai hari Sabtu, sehari setelah Macron meninggalkan China. "Orang yang akrab dengan pemikiran Macron mengatakan dia senang Beijing setidaknya menunggu sampai dia keluar dari wilayah udara China sebelum meluncurkan latihan simulasi 'pengepungan Taiwan'," catat laporan Politico.

Jika China menyesuaikan jadwal latihan militer dengan jadwal presiden Prancis, itu sedikit membantu mengatasi kekhawatiran keamanan Taiwan.

Pesawat perang dan kapal angkatan laut China masih berada di perairan sekitar pulau pada hari Selasa, sehari setelah latihan resmi berakhir, kata kementerian pertahanan Taiwan, memicu kecaman dari politisi Taiwan.

Dampak dari komentar kontroversial Macron tidak terbatas pada sekutu luar negeri Prancis. Lebih dekat di Eropa, seruan presiden Prancis untuk menegakkan otonomi Eropa dari kebijakan luar negeri AS mengungkapkan perpecahan di Uni Eropa.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada

Sumber : France24


TERBARU