> >

Cegah Stigma, WHO Ganti Nama Monkeypox atau Cacar Monyet Jadi 'Mpox'

Kompas dunia | 28 November 2022, 21:00 WIB
Partikel virus cacar monyet terdiri dari genom DNA (asam deoksiribonukleat) yang dikelilingi oleh selubung protein dan selubung lipid. WHO, Senin (28/11/2022), di Jenewa, mengumumkan akan menggunakan 'mpox' untuk menggantikan nama monkeypox atau cacar monyet. (Sumber: Maurizio de Angelis/WHO)

Menetapkan nama untuk penyakit baru dan penyakit yang sudah ada adalah tanggung jawab WHO di bawah Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD) dan Keluarga WHO dari Klasifikasi Terkait Kesehatan Internasional melalui proses konsultatif yang mencakup negara anggota WHO.

Begini proses ganti namanya. WHO mengadakan konsultasi untuk mengumpulkan pandangan dari berbagai pakar, serta negara dan masyarakat umum, yang diundang untuk mengajukan usulan nama baru.

Baca Juga: Menkes: Indonesia Pesan 2.000 Dosis Vaksin Cacar Monyet dari Denmark

Berdasarkan konsultasi tersebut, dan diskusi lebih lanjut dengan Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, WHO merekomendasikan sebagai berikut:

  • Mengadopsi 'mpox' sebagai sinonim baru dalam bahasa Inggris untuk penyakit ini.
  • Mpox akan menjadi istilah pilihan, menggantikan monkeypox, setelah masa transisi satu tahun. Ini berfungsi untuk mengurangi kekhawatiran yang dikemukakan oleh para ahli tentang kebingungan yang disebabkan oleh perubahan nama di tengah wabah global. Ini juga memberi waktu untuk menyelesaikan proses pembaruan ICD dan memperbarui publikasi WHO.
  • Sinonim 'mpox' akan dimasukkan dalam ICD-10 online dalam beberapa hari mendatang. Ini akan menjadi bagian dari rilis resmi ICD-11 tahun 2023, yang merupakan standar global saat ini untuk data kesehatan, dokumentasi klinis, dan agregasi statistik.
  • Istilah “monkeypox” akan tetap menjadi istilah yang dapat dicari di ICD, agar sesuai dengan informasi historis.

Pertimbangan untuk rekomendasi meliputi alasan seperti kesesuaian ilmiah, tingkat penggunaan saat ini, pengucapan, kegunaan dalam bahasa yang berbeda, tidak adanya referensi geografis atau zoologi, dan kemudahan pengambilan informasi ilmiah sejarah.

Penyakit ini pertama kali ditemukan pada manusia pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo, dengan penyebaran di antara manusia sejak saat itu, terutama terbatas pada negara-negara Afrika Barat dan Tengah tertentu yang endemik.

Namun pada bulan Mei 2022, kasus penyakit tersebut, yang menyebabkan demam, nyeri otot, dan lesi kulit seperti bisul yang besar, mulai menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, terutama di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria.

Sekitar 81.107 kasus dan 55 kematian telah dilaporkan ke WHO tahun ini, dari 110 negara.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/Straits Times/WHO


TERBARU