> >

Kisah Runtuhnya Kelas Menengah Sri Lanka Akibat Krisis Ekonomi Terparah Sejak Merdeka

Kompas dunia | 22 Juni 2022, 14:37 WIB
Kelas menengah Sri Lanka kini ambruk dan mulai merasakan hantaman keras krisis ekonomi. Seorang perempuan duduk menunggu datangnya tabung gas di Kolombo Sri Lanka pertengahan Mei 2022 (Sumber: AP Photo/ Eranga Jayawardena)

"Ambisinya adalah memiliki rumah dan mobil, dapat menyekolahkan anak-anak Anda ke sekolah yang bagus, makan di luar setiap beberapa minggu dan berlibur ke sana-sini," kata ekonom Chayu Damsinghe. “Tapi sekarang kelas menengah seperti kehilangan mimpinya,” tambahnya.

“Jika kelas menengah berjuang seperti ini, bayangkan betapa terpukulnya mereka yang lebih rentan,” kata Fonseka.

Protes berkecamuk sejak April, dengan para demonstran menyalahkan Presiden Gotabaya Rajapaksa dan pemerintahnya atas kesalahan kebijakan yang melumpuhkan ekonomi dan menjerumuskan negara ke dalam kekacauan.

Bulan Mei, gelombang protes dengan kekerasan memaksa saudara laki-laki Rajapaksa dan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa saat itu untuk mundur.

Baca Juga: Krisis BBM, Sri Lanka Minta Maskapai Dunia Datang dengan Tangki Penuh atau Isi Avtur di Tempat Lain

Warga Kolombo naik Bajay mengangkut barang dari pasar. Warga Sri Lanka dijungkirbalikkan krisis ekonomi, dimana kelas menengah mulai masuk kategori miskin, masak dengan kayu bakar, dan menjatah makan keluarga (Sumber: AP Photo/Eranga Jayawardena)

Penggantinya, Ranil Wickremesinghe, mengandalkan paket bail-out Dana Moneter Internasional dan bantuan dari negara-negara sahabat seperti India dan China untuk menjaga perekonomian tetap bertahan.

Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press pekan lalu, Wickremesinghe mengatakan dia khawatir kekurangan pangan akan berlanjut hingga 2024 karena perang di Ukraina mengganggu rantai pasokan global, menyebabkan harga beberapa komoditas melonjak.

Kesulitan ekonomi Sri Lanka diperparah oleh larangan tahun lalu pada pupuk kimia impor yang membuat marah petani dan merusak panen. Larangan itu dicabut setelah enam bulan, tetapi kerusakan sudah terjadi, menyebabkan kekurangan pangan.

Pejabat pemerintah diberikan libur setiap hari Jumat selama tiga bulan untuk menghemat bahan bakar dan menanam buah dan sayuran mereka sendiri karena cadangan makanan menipis.

Tingkat inflasi untuk makanan adalah 57 persen, menurut data resmi, dan 70 persen rumah di Sri Lanka yang disurvei UNICEF pada bulan Mei melaporkan pengurangan konsumsi makanan.

Pada suatu sore baru-baru ini, penduduk mengerumuni pasar sayur yang ramai di Kolombo, berkeringat di bawah terik matahari saat mereka dengan hati-hati membandingkan harga tomat dan jeruk dengan harga di pasar yang mereka kunjungi sebelumnya

Sriyani Kankanamge, 63, mengatakan dia berhenti membeli daging atau ikan dan hanya membeli beberapa jenis sayuran.

"Saya marah. Harga setiap barang penting naik, beras, gula, susu, ayam, ikan. Bagaimana orang bisa makan?" katanya dengan getir.

Baca Juga: PM Sri Lanka Peringatkan Soal Potensi Kekurangan Pangan di Tengah Upaya Mengatasi Krisis Ekonomi

Keluarga Madushanka memilih untuk tidak makan tiga kali sehari dan hanya sarapan lalu makan malam yang terlambat.

Pada hari Jumat baru-baru ini, ibunya, Ambepitiyage Indrani, sedang menggiling kelapa dan merebus panci berisi air di atas tumpukan kayu bakar yang tipis. Ketika tabung gas mereka kosong pada bulan Mei, pemikiran untuk menunggu dalam antrean tanpa jaminan keberhasilan tampak sia-sia.

Langit-langit dapur, yang dulunya putih berkilau, kini bercoreng jelaga dari api unggun. Kompor listrik yang dibeli beberapa tahun lalu telah terjual.

Indrani menderita glaukoma di mata kirinya dan menggunakan obat tetes mata sekali sehari, bukan dua kali, seperti yang direkomendasikan oleh dokternya. Harga obatnya naik empat kali lipat.

"Ini adalah masa tersulit dalam hidup saya," katanya, mengingat bagaimana beberapa bulan sebelumnya dia biasa memasak makanan tambahan untuk diberikan kepada orang lain di lingkungan itu.

Radio dan televisi keluarga telah dimatikan selama berminggu-minggu, skuter mereka diparkir di luar, tertutup. Mereka hampir tidak menggunakannya lagi, lebih memilih berjalan kaki atau naik bus daripada mengantri untuk bahan bakar.

Ketika pemadaman listrik selama tiga jam setiap hari terjadi, Madushanka terkadang menuju ke lokasi protes utama di luar kantor presiden.

Seperti banyak orang Sri Lanka, dia merasa satu-satunya jalan keluar adalah pergi.

"Saya punya mimpi sederhana -- membangun rumah, membeli mobil, bekerja penuh waktu selama seminggu dan pergi berlibur sesekali. Saya ingin menikah dan berkeluarga," katanya. "Tapi aku takut mimpi ini tidak mungkin lagi, setidaknya tidak di negara ini."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV/Associated Press


TERBARU