> >

Apa Itu Stagflasi? Periode Resesi Ekonomi pada 1970-an yang Berisiko Terulang Tahun Ini

Kompas dunia | 9 Juni 2022, 05:05 WIB
Ilustrasi. Seorang perempuan melintas di dekat kumpulan karung terigu di Pasar Hamar-Weyne, Mogadishu, Somalia, 26 Mei 2022. Bank Dunia memperingatkan bahwa kondisi ekonomi global belakangan ini membuat risiko stagflasi semaki nyata. Apa itu stagflasi? (Sumber: Farah Abdi Warsameh/Associated Press)

Baca Juga: Janet Yellen Sebut IMF dan Bank Dunia Tak Bisa Hadapi Krisis Berlapis, Saatnya Direformasi

Wiseman mengumpamakan teori Phillips sebagai berikut: Jika ekonomi lemah dan banyak pengangguran, bisnis akan kesulitan meningkatkan harga-harga karena tidak akan ada yang mampu membelinya. Demikian, angka inflasi akan tetap rendah.

Di lain sisi, jika ekonomi cukup meriah untuk mengakomodasi kenaikan harga-harga, maka tingkat pengangguran yang berpengaruh ke daya beli konsumen seharusnya tetap rendah.

Akan tetapi, relatias ekonomi ternyata tidak demikian. Apa yang bisa mengacaukan teori Phillips adalah disrupsi mendadak pada rantai pasokan.

Misalnya, kenaikan tiba-tiba harga-harga material mentah yang memicu inflasi dan melemahkan daya beli konsumen untuk menggerakkan ekonomi.

Hal itulah yang terjadi pada 1970-an, berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo AS dan negara lain yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973.

Embargo itu memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS, pada 1974-1982, inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%.

Ini kemudian akan merembet ke negara-negara lain, berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun. Pasalnya, bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi hingga menyebabkan resesi.

“Pemulihan stagflasi pada 1970-an memerlukan penaikkan suku bunga yang cukup tajam di negara-negara berekonomi maju, yang mana memainkan peran menonjol dalam memicu serangkaian krisis finansial di negara-negara berkembang dan emerging market,” demikian tulis laporan Bank Dunia.

Lebih lanjut, Bank Dunia merekomendasikan kepada pemangku kebijakan agar tidak membuat kebijakan yang "mengganggu" seperti kontrol harga, subsidi, dan larangan ekspor.

Kebijakan-kebijakan itu disebut dapat memperburuk meroketnya harga-harga komoditas belakangan ini.

"Dengan latar belakang inflasi tinggi yang menantang, pertumbuhan (ekonomi) yang melemah, kondisi finansial yang semakin sulit, dan keterbatasan ruang gerak kebijakan fiskal, pemerintah-pemerintah di dunia perlu melakukan memproriitaskan ulang pengeluaran kepada bantuan tepat guna untuk populasi rentan," tulis Bank Dunia.

Baca Juga: Putin Merasa Tak Berdosa, Sebut Barat yang Bersalah atas Krisis Pangan dan Energi

 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU