> >

Kremlin Sebut Krisis Gandum Ukraina gara-gara Barat Sendiri, Tuntut Hapuskan Sanksi Isolasi

Krisis rusia ukraina | 26 Mei 2022, 22:34 WIB
Kremlin, Kamis (26/5/2022) menyatakan Barat sebenarnya menyalahkan diri sendiri atas krisis pangan akibat masalah yang menghalangi gandum Ukraina dibawa ke pasar dunia. (Sumber: Straits Times)

LONDON, KOMPAS.TV - Istana kepresidenan Rusia, Kremlin, Kamis (26/5/2022) menyatakan Barat sebenarnya menyalahkan diri sendiri atas krisis pangan akibat masalah yang menghalangi gandum Ukraina dibawa ke pasar dunia.

Untuk itu, Kremlin menuntut Amerika Serikat (AS) dan sekutu menghapus apa yang dianggap Rusia sebagai sanksi ilegal, seperti laporan Straits Times

Selain kematian dan kehancuran akibat serangan Rusia ke Ukraina, perang dan upaya Barat untuk mengisolasi Rusia sebagai hukuman, membuat harga gandum, minyak goreng, pupuk dan energi melonjak, melukai pertumbuhan global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang melihat krisis pangan global semakin parah, sedang mencoba menengahi kesepakatan untuk membuka blokir ekspor gandum Ukraina meskipun para pemimpin Barat menuding dan menyalahkan Rusia karena dianggap meminta tebusan melalui blokade pelabuhan Ukraina.

Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak tuduhan itu dan mengatakan Barat harus disalahkan atas situasi tersebut.

"Kami dengan tegas menolak tuduhan ini dan, sebaliknya, menuduh negara-negara Barat. Mereka mengambil sejumlah tindakan ilegal yang mengarah pada ini," kata Peskov kepada wartawan.

"Mereka (Barat) harus mencabut keputusan ilegal yang mencegah penyewaan kapal, mencegah ekspor biji-bijian, dan sebagainya, sehingga pasokan dapat dilanjutkan," kata Peskov.

Rusia merebut beberapa pelabuhan terbesar di Ukraina, dan angkatan lautnya mengendalikan rute transportasi utama di Laut Hitam, di mana ranjau yang ditebar luas membuat pelayaran komersial menjadi berbahaya.

Sanksi juga mempersulit eksportir Rusia mengakses kapal untuk memindahkan komoditas ke pasar global.

Baca Juga: Komisi Eropa Sebut 20 Juta Ton Gandum Terjebak Perang di Ukraina, Picu Meroketnya Harga Pangan

Presiden Rusia Vladimir Putin dituding ingin menciptakan kelaparan dan krisis pengungsi dengan menghancurkan suplai gandum di Ukraina. (Sumber: Mikhail Metzel, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Rusia dan Ukraina bersama-sama menyumbang hampir sepertiga pasokan gandum global. Gandum berjangka Chicago mencapai rekor harga pada bulan Maret di tengah kekhawatiran pasokan, dan masih naik 30 persen sejak 24 Februari.

Ukraina juga pengekspor utama jagung, jelai, minyak bunga matahari dan minyak lobak, sementara Rusia dan Belarusia, yang mendukung Moskow dalam perang dan juga berada di bawah sanksi, menyumbang lebih dari 40 persen ekspor global kalium nutrisi tanaman.

Waktu hampir habis untuk mendapatkan sekitar 22 juta ton biji-bijian dari Ukraina menjelang panen baru karena Rusia terus memblokade pelabuhan Laut Hitam negara itu, kata anggota parlemen Ukraina Yevheniia Kravchuk, Rabu.

"Kami mungkin memiliki waktu sekitar satu setengah bulan sebelum kami mulai mengumpulkan hasil panen baru," katanya kepada Reuters di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di resor Davos, Swiss, seraya menambahkan tidak ada cukup ruang untuk menyimpan hasil panen segar.

Ukraina kehilangan pelabuhan Kherson dan Mariupol karena pendudukan Rusia, dan ada kekhawatiran Rusia akan mencoba merebut yang ketiga, Odesa.

Kremlin mengatakan, Ukraina membuat pengiriman komersial menjadi tidak mungkin karena menebar ranjau kapal, mematikan perairannya.

Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen termasuk di antara mereka yang menuduh Moskow menggunakan ekspor makanan sebagai senjata. Sementara, Kiev mengatakan Rusia mencuri ratusan ribu ton biji-bijian di daerah-daerah yang diduduki pasukan mereka.

"Putin berusaha meminta tebusan kepada dunia, dan dia pada dasarnya mempersenjatai kelaparan dan kekurangan makanan di antara orang-orang termiskin di seluruh dunia," kata Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss selama kunjungan ke Bosnia pada hari Kamis.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Straits Times


TERBARU