> >

Kelaparan Ancam Perayaan Idul Fitri di Afghanistan, Warga: Ramadan Terburuk dalam Hidup

Kompas dunia | 2 Mei 2022, 11:09 WIB
Anggota Taliban berjaga saat salat Idul Fitri di sebuah masjid di Kabul, Afghanistan, Senin (2/5/2022). (Sumber: AP Photo/Ebrahim Noroozi)

KABUL, KOMPAS.TV - Perayaan Idul Fitri di Afghanistan, Senin (2/5/2022), diwarnai ancaman kelaparan.

Bahkan salah satu warga Afghanistan mengungkapkan ini adalah bulan Ramadan terburuk dalam hidupnya.

Menurut PBB, saat ini 90 persen warga Afghanistan terancam mengalami kekurangan bahan pangan.

Jamal, seorang warga yang tak ingin mengungkapkan nama aslinya, merasakan hanya sedikit kegembiraan di hari raya Idul Fitri.

Baca Juga: Langka, Pemimpin Tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada Muncul untuk Ucapkan Selamat Idul Fitri

Pria 38 tahun itu mengaku berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena krisis kemanusiaan yang semakin parah sejak Taliban mengambil alih pemerintahan pada Agustus tahun lalu.

Jamal hanya mampu memberikan beberapa roti dari toko terdekat kepada keluarganya yang terdiri dari 17 orang.

Beberapa di antaranya disisihkan untuk dimakan dengan penganan yang mampu mereka dapat dari sumbangan teman atau pun tetangganya.

“Saya tak mengharapkan kami bakal mendapatkan banyak hal untuk Idul Fitri. Siapa yang akan memberikan saya makanan atau udang? Seluruh kota dilanda kemiskinan,” katanya dikutip dari Al-Jazeera.

“Saya tak pernah melihat seperti saat ini, bahkan di kamp pengungsi tempat saya tumbuh dewasa,” tutur Jamal.

Jamal pun menegaskan bahwa Ramadan kali ini merupakan yang terburuk yang pernah dilewatinya.

“Bulan ini dan Idul Fitri selalu mengenai persatuan dan ampunan untuk kami, tetapi tahun ini yang terjadi sebaliknya,” ujarnya.

Baca Juga: Idul Fitri di Arab Saudi, Pertunjukan Kembang Api Akan Hiasi Seluruh Negara

“Ini adalah Ramadan terburuk di hidup saya. Bukan hanya kami kelaparan, tetapi tak ada persatuan, atau kami beribadah dengan damai,” ujarnya.

Pernyataan Jamal itu terkait dengan serangan terhadap masjid yang terjadi di Afghanistan selama bulan Ramadan.

Jamal sendiri telah dipecat dari pekerjaannya di pemerintahan setelah Taliban kembali berkuasa.

“Saya selalu ingin membela negara. Tetapi saya tak di militer atau berhubungan dengan kelompok politik. Dan mereka (Taliban) masih memecat saya,” katanya.

Krisis kemanusiaan di Afghanistan semakin memburuk setelah sejumlah negara dan organisasi internasional menghentikan bantuan menyusul kembalinya Taliban ke tampuk pemerintahan.

Amerika Serikat (AS) menarik mundur pasukannya dari Afghanistan setelah kelompok Taliban mendepak pemerintahan Presiden Ashraf Ghani pada Agustus 2021.

Washington lalu membekukan aset bank sentral Afghanistan senilai lebih dari USD7 miliar yang ada di AS, keputusan yang dipandang luas sebagai faktor utama krisis ekonomi yang kini membelit Afghanistan.

Pada 11 Februari lalu, Biden menandatangani perintah eksekutif yang akan membagi dua aset Afghanistan yang dibekukan senilai USD7 miliar.

Rencananya, setengah dari aset itu akan digunakan untuk dana bantuan kemanusiaan bagi Afghanistan, sedangkan setengahnya untuk kompensasi korban serangan teroris 9/11.

Langkah itu pun langsung menuai kecaman dari berbagai pihak.

Baca Juga: Amnesty International: Keputusan AS Ambil Separuh Aset Afghanistan adalah Zalim

Amnesty International menyebut keputusan pemerintah AS tersebut, zalim.

"Keputusan itu tidak logis dan zalim. Ini harus dibatalkan," kata Amnesty International dalam pernyataannya, Selasa, 22 Februari 2022.

Dalam pernyataannya, Amnesty menyalahkan terutama Taliban atas penderitaan rakyat Afghanistan saat ini.

Namun, kebijakan-kebijakan pemerintahan Biden dianggap turut berkontribusi pada situasi mengerikan yang terjadi saat ini di Afghanistan.

Amnesty merujuk pada keputusan Gedung Putih untuk membekukan aset bank sentral Afghanistan dan menghentikan bantuan pembangunan setelah Kabul jatuh ke tangan Taliban.

"Pendekatan pemerintah AS itu mengunci Afghanistan keluar dari sistem keuangan global dan turut memicu krisis likuiditas yang membuat hampir mustahil bagi rakyat Afghanistan untuk membeli makanan," kata Amnesty.

Baca Juga: Mantan Menlu Inggris: Barat Akibatkan Kerusakan Parah di Afghanistan

Mantan Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband pada Februari lalu juga mengecam kebijakan negara-negara Barat yang menurutnya telah membiarkan rakyat Afghanistan kelaparan.

"Jika kita ingin menciptakan negara yang gagal, kita tidak memiliki paduan kebijakan yang lebih efektif daripada yang kita punya saat ini," kata Miliband kepada The Guardian.

Langkah Gedung Putih untuk mengambil setengah dari aset Afghanistan juga dikecam mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai.

Karzai mengatakan, rakyat Afghanistan turut berduka cita atas penderitaan yang dialami warga AS akibat serangan 9/11.

Tapi, dia menegaskan, tidak ada warga Afghanistan yang terlibat dalam serangan tersebut.

“Menahan uang Afghanistan atas nama siapa pun adalah tidak adil dan zalim. Uang itu milik rakyat Afghanistan… Saya menyerukan kepada Presiden Joe Biden untuk mengembalikan uang itu kepada rakyat Afghanistan,” ujar Karzai dalam jumpa pers di Kabul pada 13 Februari 2022, seperti dikutip dari CGTN.

Penulis : Haryo Jati Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Al-Jazeera/The Guardian/CGTN


TERBARU