> >

Kisah Muazin Tertua di Jalur Gaza, Setengah Abad Mengumandangkan Azan di Masjid Tua Palestina

Kompas dunia | 6 April 2022, 02:30 WIB
Muazin tertua di Jalur Gaza, Abu Husam Haniyeh. (Sumber: Arab News)

GAZA, KOMPAS.TV - Abu Husam Haniyeh telah berdekade-dekade mengumandangkan azan dari Masjid Raya Gaza atau Masjid Omari Raya.

Masjid ini adalah masjid tertua kedua di Palestina setelah Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Haniyeh tadinya secara sukarela menjadi muazin Masjid Raya Gaza. Kini, menurut catatan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Palestina, ia adalah muazin tertua di Jalur Gaza.

Saking lamanya mengabdi, nama Haniyeh akrab dengan masjid yang berdiri sejak abad ke-7 ini. Mulanya, ia meminta izin dari muazin resmi Masjid Raya Gaza untuk mengumandangkan azan. Ia tetap menjadi sukarelawan muazin hingga Otoritas Palestina meresmikan jabatannya pada 1994.

“Ketika saya mulai menjadi muazin, saya tidak menyangka hidup saya akan bertahan hingga bertahun-tahun ini dan nama saya menjadi lekat dengan masjid raya yang kuno ini,” kata Haniyeh kepada Arab News.

Kenangan mengumandangkan azan di Masjid Raya Gaza untuk pertama kalinya masih lekat di ingatan Haniyeh yang kini berusia 85 tahun.

“Itu adalah pengalaman luar biasa yang tidak akan saya lupakan, dan setelah kematian Abu Al-Said (muazin sebelumnya), saya menggantikannya sebagai muain resmi,” kata Haniyeh.

Baca Juga: Sejarah Masjid Jogokariyan, Rutin Gelar Ibadah hingga Tradisi Pasar Sore Sajikan Menu Buka Puasa

Rumah Haniyeh hanya bersebelahan dengan Masjid Raya Gaza, tepatnya di perkampungan kuno Al-Daraj. Namun, Haniyeh saban harinya tinggal di dalam masjid, hanya pulang beberapa saat untuk keluarga.

Sejak 1994, Haniyeh menerima honor dari Otoritas Palestina sebagai muazin resmi. Honornya sekitar 155 dolar AS atau 2,2 juta rupiah.

Berapa pun harta duniawi yang diterima, Haniyeh mengaku ikhlas. Ia menemukan kenyamanan di masjid, terutama saat bulan Ramadan, ketika ia seringnya khusyuk membaca Al-Qur’an, serta mengobrol dengan pria-pria seusia yang ramai berkunjung ke masjid.

“Saya tidak memandang imbalan (duniawi) dalam kehidupan ini, karena imbalan seorang muazin berasal dari Allah dan pahala-Nya besar di hari kebangkitan. Kami adalah muazin, suara Tuhan di bumi, kami memanggil orang-orang untuk bersembahyang dan meninggalkan kesenangan duniawi,” katanya.

Berharap mengumandangkan azan dari Al-Aqsa

Abu Husam Haniyeh bukanlah warga asli Gaza. Ia dan keluarganya berasal dari Jaffa, wilayah yang kini diduduki Israel sebagai bagian kota Tel Aviv.

Keluarga Haniyeh diusir saat Hari Nakbah 1948, peristiwa pengusiran besar-besaran warga Palestina dari wilayah yang kini menjadi negara Israel.

Baca Juga: Hari Pertama Ramadan, Pasukan Israel Tembak Mati 3 Milisi Palestina di Tepi Barat

Setibanya di Gaza, Haniyeh sempat bekerja sebagai tukang kayu, menikah, lalu dikaruniai tiga putra dan tiga putri.

Pada usia senja, Haniyeh berharap suatu ketika bisa berkunjung ke Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem dan mengumandangkan azan dari sana.

“Saya berharap bisa kembali ke Jaffa, dan bisa menyuarakan azan dari dalam Masjid Al-Aqsa yang diberkati,” kata Haniyeh.

“Saya ingat apa pun dari hari-hari ketika saya berada di Jaffa, tempat tinggal kami, perjalanan ayah saya menggunakan kereta ke Mesir, lalu dari sana ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji, meriam buka puasa (tradisi mengumumkan buka puasa dengan suara meriam), dan teman-teman yang dulu kami miliki. Kami bersenang-senang dan bermain bersama di lorong-lorong dan di pantai,” lanjutnya, mengenang kehidupan di Jaffa.

Sebagai masjid, Masjid Raya Gaza yang ditempati Haniyeh termasuk ikonis di Palestina. Selain masjid tertua setelah Al-Aqsa, ini adalah masjid terbesar ketiga di Palestina setelah Al-Aqsa dan Masjid Ahmad Pasha al-Jazzar di Akko, kini wilayah Israel.

Masjid Raya Gaza bisa memuat sekitar 5.000 jamaah. Kompleks masjid dibangun di atas tanah seluas 4.100 meter persegi.

Masjid ini dulunya adalah kuil bangsa Filistin yang dibangun sekitar 3.700 tahun lalu. Setelah itu, bangsa Romawi membangun Gereja Santo Porphyrios di atas kompleks tersebut.

Setelah umat Islam merebut Gaza pada 634, gerjea itu diubah menjadi masjid, lalu dibangun pula gereja yang lebih kecil. Gereja itu masih bertahan hingga kini dan juga dinamai Gereja Santo Porphyrios.

Masjid Raya Gaza sempat dijadikan gereja kembali oleh Pasukan Salib pada abad 12. Namun, setelah Salahudin Al-Ayubi merebut kembali Gaza, gereja itu dihancurkan dan dibangun masjid baru.

Masjid yang dibangun Dinasti Mamluk ini sempat dihancurkan tentara Mongol pada 1260. Masjid ini kemudian direstorasi dan selesai pada 1340.

Baca Juga: Kemenag Tegaskan Vaksinasi Covid-19 Tidak Batalkan Puasa Ramadan


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Gading-Persada

Sumber : Arab News


TERBARU