> >

Rubel Bangkit Lebih Kuat dari Sebelum Invasi ke Ukraina walau Ditekan Barat, Sanksi Dipertanyakan

Krisis rusia ukraina | 31 Maret 2022, 14:16 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin. Rubel Rusia pada hari Rabu, (30/3/2022) bangkit setelah AS dan sekutu Eropa bergerak untuk mengubur ekonomi Rusia di bawah ribuan sanksi baru atas invasinya ke Ukraina. Tercatat pada 30 Maret 2022, nilai tukar Rubel menguat ke 76 Rubel per 1 dollar AS, bahkan lebih kuat dari sebelum invasi ke Ukraina. (Sumber: Mikhail Klimentyev, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

WASHINGTON, KOMPAS.TV — Rubel bukan lagi puing-puing, nilai tukar Rusia itu bangkit lebih kuat dari sebelum negara itu menginvasi Ukraina di tengah tekanan sanksi ekonomi dahsyat dari Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutunya, menimbulkan pertanyaan tentang dampak sanksi Barat terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, seperti dilaporkan Associated Press, Kamis, (31/3/2022)

Rubel Rusia pada hari Rabu, (30/3/2022) bangkit kembali dari kejatuhan yang terjadi setelah AS dan sekutu Eropa bergerak untuk mengubur ekonomi Rusia di bawah ribuan sanksi baru atas invasinya ke Ukraina. Tercatat pada 30 Maret 2022, nilai tukar rubel menguat ke 76 rubel per 1 dollar AS, bahkan lebih kuat dari sebelum invasi ke Ukraina.

Pada 24 Februari di hari penyerbuan Rusia ke Ukraina, nilai tukar rubel terhadap dollar Amerika adalah 83 per 1 dollar Amerika. Menyusul serangkaian sanksi ekonomi Amerika Serikat dan Barat terhadap Rusia, Rubel terjun bebas, anjlok ke tingkat terendah 150 Rubel per 1 dollar AS pada 7 Maret, dan per 30 Maret, atau hanya dalam waktu 23 hari, Rubel Rusia menguat ke 76 Rubel per 1 dollar AS, lebih kuat dari sebelum penyerbuan ke Ukraina.

Presiden Rusia Vladimir Putin menggunakan langkah-langkah keuangan ekstrem untuk menumpulkan hukuman Barat dan menggelembungkan nilai mata uangnya.

Sementara Barat memberlakukan tingkat sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap ekonomi Rusia, Bank Sentral Rusia mendongkrak suku bunga hingga 20 persen dan Kremlin memberlakukan kendali modal yang ketat pada mereka yang ingin menukar rubel mereka dengan dollar atau euro.

Ini adalah pertahanan moneter yang mungkin tidak dapat dipertahankan Putin karena sanksi jangka panjang membebani ekonomi Rusia.

Tetapi pemulihan rubel bisa menjadi tanda bahwa sanksi dalam bentuknya saat ini tidak bekerja sekuat yang diperhitungkan oleh sekutu Ukraina ketika harus menekan Putin untuk menarik pasukannya dari Ukraina.

Baca Juga: 7 Negara Kaya Tolak Bayar Gas Rusia Pakai Rubel, Cari Gantinya dengan Gas AS

Orang-orang berjalan melewati layar kantor penukaran mata uang yang menampilkan nilai tukar Dolar AS dan Euro ke Rubel Rusia di Moskow, pada 28 Februari 2022. (Sumber: AP Photo/Pavel Golovkin, File)

Ini juga bisa menjadi tanda upaya Rusia untuk menopang mata uangnya secara artifisial berhasil dengan memanfaatkan sektor minyak dan gasnya.

Rubel telah jatuh serendah sekitar 150 terhadap dollar pada 7 Maret, ketika muncul berita pemerintahan Biden akan melarang impor minyak dan gas Rusia dari AS.

Berbicara kepada parlemen Norwegia hari Rabu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mendesak sekutu Barat untuk menimbulkan kerugian keuangan yang lebih besar di Rusia.

“Satu-satunya cara mendesak Rusia untuk mencari perdamaian adalah sanksi,” kata Volodymyr Zelensky dalam pesan video dari negaranya yang terkepung.

Dia menambahkan: "Semakin kuat paket sanksi, semakin cepat kita akan mengembalikan perdamaian."

Pembelian minyak dan gas alam Rusia oleh negara-negara Eropa semakin disorot sebagai celah dan jalur kehidupan bagi ekonomi Rusia.

“Untuk Rusia, semuanya tentang pendapatan energi mereka. Itu setengah dari anggaran federal mereka. Itu adalah hal yang menopang rezim Putin dan perang,” kata Tania Babina, seorang ekonom di Universitas Columbia yang lahir di Ukraina.

Baca Juga: Kremlin: Tidak Ada Kiriman Gas ke Eropa bila Tidak Bayar Pakai Rubel, Rusia Tak Kirim Gratisan

Ekspor minyak Rusia bergeser ke Asia, dengan ekspor Rusia ke Eropa turun sekitar 280.000 barel per hari dari 1-22 Maret, hingga menjadi 1,3 juta barel per hari. Sementara ekspor ke Asia, yang secara historis bukan pembeli reguler minyak mentah Rusia Baltik dan Laut Hitam, naik 220.000 barel per hari selama periode yang sama, seperti dilansir Anadolu, Rabu (30/3/2022). (Sumber: BBC)

Babina saat ini bekerja dengan sekelompok 200 ekonom Ukraina untuk lebih akurat mendokumentasikan seberapa efektif sanksi Barat dalam menghalangi kemampuan perang Putin.

Rubel juga meningkat di tengah laporan bahwa Kremlin lebih terbuka untuk pembicaraan gencatan senjata dengan Ukraina.

Para pejabat AS dan Barat menyatakan skeptisisme tentang pengumuman Rusia bahwa mereka akan menghentikan operasi.

Presiden Joe Biden menggaungkan keberhasilan sanksi, beberapa sanksi terberat yang pernah dijatuhkan pada suatu negara, ketika dia berada di Polandia minggu lalu. "Rubel hampir segera direduksi menjadi puing-puing," kata Biden.

Sanksi terhadap lembaga dan perusahaan keuangan Rusia, pada perdagangan dan pialang kekuasaan Putin menghancurkan pertumbuhan ekonomi negara itu dan mendorong ratusan perusahaan internasional untuk berhenti melakukan bisnis di sana, kata Biden.

Upaya Rusia untuk melawan sanksi tersebut dengan menopang rubel hanya bisa sejauh ini.

Bank Sentral Rusia tidak dapat terus menaikkan suku bunga karena hal itu pada akhirnya akan menghentikan kredit ke bisnis dan peminjam.

Baca Juga: Dihajar Sanksi Amerika Serikat dan Barat, Ekspor Minyak Bumi Rusia ke Asia Naik Tajam

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab hari Selasa, (29/3/2022) di Dubai menegaskan OPEC+ tidak mencampuradukkan politik dan ekonomi, dan menyatakan OPEC+ tidak memihak serta tidak bisa disuruh-suruh maupun dipaksa mengusir mitra maupun anggota, seperti dilaporkan Arab News, Selasa, (29/3/2022) (Sumber: Arab News)

Pada titik tertentu, individu dan bisnis akan mengembangkan cara untuk mengatasi kontrol modal Rusia dengan memindahkan uang dalam jumlah yang lebih kecil.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Associated Press/Anadolu


TERBARU