> >

Putin Berpidato di Konferensi Keamanan Munich 15 Tahun Lalu, Manakah Prediksinya yang Benar Terjadi?

Kompas dunia | 11 Februari 2022, 11:05 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin, 15 tahun lalu, berpidato di Konferensi Keamanan Munich, berisi berbagai peringatan dan prediksi. Manakah peringatan dan prediksi Putin dalam pidatonya di Munich pada 2007 itu yang menjadi kenyataan? (Sumber: Alexei Druzhinin, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

MOSKOW, KOMPAS.TV - Lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada 10 Februari 2007, Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato di Konferensi Keamanan Munich yang langsung ditafsirkan sebagai manifesto paling keras sejak era Perang Dingin.

Putin sendiri tidak percaya dia melangkah terlalu jauh dalam pidatonya dalam hal apapun.

Kamis (10/2/2022), kantor berita Rusia, TASS, merangkum peringatan dan prediksi Putin dalam pidatonya di Munich yang menjadi kenyataan termasuk soal ekspansi NATO, dunia unipolar, masalah pelucutan senjata, erosi Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) sebagai sebuah institusi, masalah nuklir Iran dan keamanan energi Eropa.

Ekspansi NATO ke arah timur memicu ketegangan

Pidato Putin di Munich: "Ekspansi NATO tidak ada hubungannya dengan modernisasi Aliansi itu sendiri, atau dengan memastikan keamanan di Eropa. Sebaliknya, ini merupakan provokasi serius yang mengurangi tingkat saling percaya."

Sejak itu, empat negara lain - Albania, Kroasia, Montenegro, dan Makedonia Utara - bergabung dengan NATO. Selain itu, pada 2008, satu tahun setelah pidato Putin di Munich, sebuah pernyataan politik Barat mengatakan seiring waktu, Ukraina dan Georgia juga akan dapat bergabung dengan NATO.

Peristiwa berikutnya hanya menegaskan kebijakan ini penuh dengan provokasi dan akan segera menurunkan tingkat keamanan di Eropa.

Pada tahun yang sama, Presiden Georgia saat itu, Mikhail Saakashvili, berani meluncurkan petualangan militer di Ossetia Selatan, yang menyebabkan banyak korban dan menghancurkan semua peluang Tbilisi memulihkan negara di dalam perbatasan bekas Republik Sosialis Soviet Georgia.

Ambisi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didominasi Amerika Serikat, untuk menjadikan Ukraina sebagai anggota barunya memainkan peran dalam peristiwa di Krimea pada 2014.

Putin kemudian mengatakan Rusia tidak hanya melindungi Krimea dari ekstremis Ukraina dan nasionalis radikal, dan merasa tidak mungkin membiarkan "pasukan NATO menginjakkan kaki di tanah Krimea dan Sevastopol, tanah kejayaan tempur tentara dan pelaut Rusia."

Risiko masuknya Ukraina ke NATO, yang akan menjadi ancaman militer langsung ke wilayah Rusia, harus disalahkan atas ketegangan kebijakan luar negeri saat ini. Itulah yang diperingatkan Putin sekitar 15 tahun yang lalu.

Baca Juga: Pertemuan Bilateral Inggris dan Rusia Berlangsung Panas, Saling Serang Hingga Konferensi Pers

Kolom tank Rusia memasuki Osetia Selatan saat Georgia terlibat konflik di Osetia Selatan, dipicu niat Georgia masuk aliansi NATO pada 2008. (Sumber: AP Photo/Musa Sadulayev)

Demokrasi dengan diktat tidak akan berhasil

Putin menekankan dalam pidatonya di Munich: "[Pemenuhan hak asasi manusia] adalah tugas penting. Kami mendukung ini. Tapi ini tidak berarti campur tangan dalam urusan internal negara lain, dan terutama tidak memaksakan rezim yang menentukan bagaimana negara-negara ini seharusnya hidup dan berkembang.

Jelaslah campur tangan semacam itu sama sekali tidak mendorong perkembangan negara-negara demokratis. Sebaliknya, itu membuat mereka bergantung dan, sebagai akibatnya, tidak stabil secara politik dan ekonomi."

Selama 15 tahun terakhir, terlihat beberapa contoh upaya destabilisasi untuk tujuan mendikte "norma demokrasi," seperti rantai peristiwa revolusi "Musim Semi Arab" di Tunisia, Mesir dan Yaman dan perang saudara di Libya dan Suriah.

Campur tangan asing semacam itu, yang digambarkan Putin seharusnya tidak boleh diizinkan untuk terjadi, menyebabkan puluhan ribu korban tewas, hilangnya kedaulatan yang sebenarnya dari beberapa negara, dan munculnya kelompok teroris ISIS.

Sementara itu, menurut TASS, Rusia membantu menyelamatkan Suriah dari kehancuran dan mempromosikan penyelesaian damai di Libya dan negara-negara lain yang terkena dampak, tetapi dalam melakukannya tidak mencoba untuk mendikte aturan apa pun.

Dalam daftar korban demokratisasi semu yang dipaksakan, adalah tepat untuk menyebut Ukraina. Kudeta pemerintah di Kiev dilancarkan oleh kelompok radikal, sambil menikmati dukungan diplomatik dan politik yang besar dari Barat.

Perubahan radikal pemerintahan di Ukraina mengakibatkan pemutusan total hubungan antara Moskow dan Kiev, hilangnya Krimea di Ukraina dan permusuhan di Donbass. Seperti yang diperingatkan Putin, demokrasi sejati tidak akan pernah matang dalam kondisi seperti itu.

Baca Juga: Jet Tempur F-15 AS Tiba di Polandia, Pertebal Kekuatan Barat Hadapi Krisis Rusia-Ukraina

Jet tempur F-15 Amerika Serikat sedang parkir di Estonia, negara bekas wilayah Uni Soviet. Jet tempur F-15 Amerika Serikat mendarat di pangkalan udara Polandia, Kamis (10/2/2022), kata menteri pertahanan Polandia, Mariusz Blaszczak (Sumber: Straits Times)

Perlombaan senjata akan menyusul

Putin menyatakan dalam pidatonya yang bersejarah di Munich: "Tidak ada yang bisa merasakan bahwa hukum internasional seperti tembok batu yang akan melindungi mereka. Tentu saja, kebijakan seperti itu merangsang perlombaan senjata… Potensi bahaya dari destabilisasi hubungan internasional sungguh terkait dengan mandeknya masalah pelucutan senjata."

Kekhawatiran Putin mengenai perlombaan senjata lain hanya terwujud sampai batas tertentu. Rusia mengambil keputusan untuk tidak berpartisipasi dalam maraton jangka panjang untuk membuat lompatan terakhir segera.

Benar, Rusia membangun perangkat keras militer modern di angkatan bersenjatanya hingga 71 persen (pada 2010, tingkatnya serendah 15 persen), tetapi seperti yang dikatakan Putin, Moskow tidak dapat bersaing dengan pengeluaran militer Washington dan melihat tidak ada alasan mengapa harus bersaing dengan anggaran militer Amerika Serikat.

Sebaliknya, penekanan ditempatkan pada penelitian dan pengembangan peluru kendali ofensif yang mampu membuat sistem pertahanan rudal miliaran dolar menjadi tidak berarti.

Dalam pidato di Majelis Federal pada 2018, Putin untuk pertama kalinya menyebutkan senjata hipersonik terbaru Rusia, termasuk sistem rudal Sarmat dan rudal jelajah bertenaga nuklir, Avangard, serta rudal balistik Kinzhal yang diluncurkan dari udara.

Setahun kemudian, ia menggambarkan beberapa fitur dari rudal darat dan rudal berbasis laut hipersonik Tsirkon. Rusia tidak berhenti di sini, dan seperti yang dikatakan Putin, terus bekerja pada teknologi untuk melawan senjata hipersonik yang dikembangkan oleh musuh-musuhnya.

“Tidak ada yang mau mendengarkan kami saat itu. Dengarkan kami sekarang,” kata Putin dalam sebuah pesan pada 2018, 11 tahun setelah konferensi Munich.

Baca Juga: Macron: Putin Katakan Pada Saya Bahwa Rusia Tidak akan Meningkatkan Krisis di Ukraina

Peluru kendali hipersonik Tsirkon milik Rusia yang berkecepatan Mach 9 dan didesain menghajar sasaran kapal tempur dan fasilitas militer di darat (Sumber: Picture Alliance/DPA/RIA Novosti/I. Gilyazutdinov)

Masalah nuklir Iran yang belum terselesaikan

Putin mencatat dalam pidatonya yang bersejarah di Munich: "Jika komunitas internasional tidak menemukan solusi yang masuk akal untuk menyelesaikan konflik kepentingan ini, dunia akan terus menderita krisis yang sama dan terus tidak stabil... Kami akan terus berjuang melawan ancaman dari proliferasi senjata pemusnah massal."

Masalah program nuklir Iran tetap menggelayut. Tahun 2015, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan Jerman menandatangani Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang mengizinkan Teheran melakukan aktivitas nuklir damai dengan sejumlah syarat.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/Tass Russian News Agency


TERBARU