> >

Myanmar Penuh Pelanggaran HAM, Raksasa Energi Dunia Total Energies dan Chevron Pilih Hengkang

Kompas dunia | 22 Januari 2022, 05:45 WIB
Menara Total Energies di La Defense di luar Paris pada 7 September 2021. Konglomerat energi Prancis Total Energies meminta pemerintah Amerika dan Prancis mendukung sanksi yang ditargetkan terhadap dana minyak dan gas Myanmar, sumber pendapatan tunggal terbesar bagi para pemimpin militer negara itu. (Sumber: AP Photo/Rafael Yaghobzadeh, File)

PARIS, KOMPAS.TV — Total Energies dan Chevron, dua perusahaan energi terbesar di dunia, mengumumkan penghentian semua operasional perusahaannya di Myanmar. Alasannya, pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela dan memburuknya supremasi hukum sejak junta militer negara itu menggulingkan pemerintah terpilih pada Februari, seperti dilansir Associated Press, Jumat (21/1/2022).

Pengumuman itu datang hanya sehari setelah perusahaan Prancis itu menyerukan sanksi internasional untuk Myanmar. Adapun sanksi menargetkan sektor minyak dan gas, yang menjadi salah satu sumber utama pendanaan junta militer Myanmar.

Seruan itu terjadi sebulan setelah berita Associated Press tentang dorongan yang semakin besar untuk memberlakukan sanksi minyak dan gas pada kedua perusahaan dan tentang perlawanan dari Amerika Serikat dan Prancis.

Total dan Chevron mendapat tekanan yang meningkat atas peran mereka dalam menjalankan ladang gas lepas pantai Yadana, bersama dengan Perusahaan Minyak dan Gas Negara (MOGE) milik Myanmar dan PTT Eksplorasi & Produksi Thailand.

Total Energies memiliki saham mayoritas dalam usaha tersebut dan menjalankan operasi hariannya, sementara MOGE mengumpulkan pendapatan atas nama pemerintah.

“Situasi supremasi hukum dan hak asasi manusia di Myanmar jelas memburuk selama berbulan-bulan dan meskipun ada gerakan pembangkangan sipil, junta tetap berkuasa,” kata Total.

Sejak pengambilalihan pemerintahan, militer menindak secara brutal perbedaan pendapat, menculik pemuda dan anak laki-laki, membunuh petugas kesehatan dan menyiksa tahanan.

Seorang mantan karyawan Total di Myanmar yang berkampanye menentang hubungan perusahaan dengan pemerintah militer mengatakan, dia terkejut tetapi senang dengan keputusan itu, meskipun dia mengakui akan sulit untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

“Bagi karyawan yang masih bekerja untuk Total, itu adalah berita buruk bahkan jika mereka menentang kediktatoran atau melawan militer. Tetapi bagi saya sebagai orang biasa dan bukan sebagai karyawan, saya akan mengatakan itu adalah berita bagus,” katanya kepada The Associated Press dengan syarat anonim karena dia takut akan pembalasan dari pemerintah.

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Kian Tekan Aung San Suu Kyi, Beri 5 Dakwaan Korupsi Baru

Pengadilan Junta Militer Myanmar kembali jatuhkan hukuman penjara 4 tahun kepada mantan pemimpin terguling Aung San Suu Kyi, yang kali ini dianggap bersalah mengimpor walkie talkie secara ilegal dan memiliki satu set alat pengacau sinyal telepon genggam. (Sumber: France24)

Total mengatakan akan menarik diri tanpa kompensasi finansial dan menyerahkan kepentingannya kepada pemangku kepentingan lainnya.

Sekitar 50 persen mata uang asing Myanmar berasal dari pendapatan gas alam, dengan MOGE diperkirakan akan menghasilkan USD1,5 miliar dari proyek lepas pantai dan pipa pada 2021-2022, menurut perkiraan pemerintah Myanmar.

Putaran sebelumnya sanksi AS dan Eropa terhadap militer Myanmar mengecualikan minyak dan gas. Ladang Yadana memasok gas ke Myanmar dan negara tetangga Thailand.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis tak lama setelah pengumuman Total, Chevron mengatakan pihaknya juga berencana untuk pergi dengan alasan mengingat keadaan.

Chevron mengutuk pelanggaran hak asasi manusia HAM dan mengatakan akan mematuhi sanksi internasional. Tidak ada kerangka waktu yang pasti untuk keluarnya Chevron, tetapi Total mengatakan pihaknya memperkirakan kepergiannya akan diselesaikan dalam waktu enam bulan.

Human Rights Watch menyambut baik keputusan itu.

"Langkah selanjutnya adalah memastikan pendapatan gas tidak terus mendanai kekejaman itu," kata Ken Roth, direktur eksekutif organisasi tersebut.

PTT Exploration & Production, perusahaan Thailand, mengatakan sedang memeriksa opsi-opsi yang mereka miliki, seraya memprioritaskan keamanan energi Thailand dan Myanmar, dan mencegah dampak pada permintaan energi terhadap mata pencaharian orang-orang di kedua negara.

Lapangan Yadana diperkirakan akan habis dalam beberapa tahun ke depan dan mendekati akhir operasinya.

Kedua perusahaan sebelumnya menghentikan pembayaran dividen untuk proyek Myanmar. Tetapi keputusan itu berdampak terbatas pada pendapatan apa pun yang masuk ke MOGE atau pemerintah yang dikendalikan militer.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Associated Press


TERBARU