> >

Cendekiawan Universitas Paramadina Evaluasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2021: Terkesan Lembek

Kompas dunia | 22 Desember 2021, 16:00 WIB
Ketiga cendekiawan universitas Paramadina yang saat ini aktif mengajar itu menyimpulkan, pada isu pembangunan, gender, dan ekonomi, secara umum ada sederet kekurangan penting yang masih luput ditangani. (Sumber: Universitas Paramadina)

Dari sisi itu menurut Tatok,  ada beberapa indikator yang harus dikejar, dan untuk itu diplomasi Indonesia sepertinya harus berubah.

Misalnya, kata Tatok, bagaimana Indonesia bisa merebut pasar nontradisional dari negara-negara yang selama ini kurang dihiraukan karena untuk masuk ke sana membutuhkan cost tidak sedikit.

"Namun sekarang, Indonesia harus mampu merebut pasar di negara-negara tersebut. Terutama untuk produk yang berbasis ekonomi kreatif dan ekonomi digital," ujar Tatok.

Pandemi membuat Indonesia dipandang harus meredefinisi ulang tujuan, bahwa penguatan-penguatan ke dalam adalah source yang bagus sebagai modal diplomasi Indonesia ke luar negeri.

17 SDG’s yang diperjuangkan oleh global society merupakan bahan bagus, namun penyesuaian di dalam negeri juga harus dilakukan.

Maksud Tatok, bukan menjadi masyarakat yang tersertifikasi global, tetapi perbaikan-perbaikan yang diharapkan baik untuk kemanusiaan dan perkembangan untuk bisa bersahabat dengan negara perlu terus dibina.

Baca Juga: Iran Peringatkan Israel agar Tak Coba-Coba Serang Fasilitas Nuklir dan Militernya

Presiden Jokowi bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping. Rektor Paramadina Didik J. Rachbini berpendapat, diplomasi RI saat ini terkesan lembek, akibat telah terafiliasi atau menjadi subordinasi secara ekonomi maupun politik ke negara tertentu, khususnya China. Menurut Didik, sebetulnya afiliasi ekonomi politk seperti ini sangat merugikan Indonesia. (Sumber: Kementerian Luar Negeri)

Tidak kurang rektor Universitas Paramadina, Dr. Didik J. Rachbini ikut angkat suara tentang kinerja hubungan luar negeri Indonesia tahun 2021.

Menurut Didik, diplomasi RI di masa lalu pada jaman Menteri Luar Negeri Ali Alatas ketika itu, sangatlah kuat dalam prinsip bebas aktif.  

Politik luar negeri Indonesia saat itu dipandang punya peran yang berwibawa dan sangat dihormati baik di lingkup ASEAN ataupun dunia internasional.

"Namun anehnya diplomasi RI saat ini terkesan lembek, " kata Didik.

Didik mengatakan, bisa jadi hal itu akibat Indonesia seperti telah terafiliasi atau menjadi subordinasi secara ekonomi maupun politik ke negara tertentu, khususnya China. Menurut Didik, sebetulnya afiliasi ekonomi politk seperti ini sangat merugikan Indonesia.

Dalam hubungan ekonomi dengan Cina, Indonesia mengalami defisit besar, yang memperlemah ekonomi nasional karena barang impor apa pun masuk, sampah-sampah antara lain mainan anak dan lain-lain produk  masuk ke Indonesia dengan tak terkendali tanpa kebijakan proteksi.

Pada saat ini terlihat Amerika Serikat, dipandang Didik berusaha untuk merebut Indonesia dari pengaruh China.

Namun karena sepertinya Indonesia telah terafiliasi maka upaya Amerika Serikat tidak mudah, bahkan menjadi agak sulit karena pengaruh Cina cukup kuat.

Saat ini dipandang Didik, masalah diplomasi luar negeri RI cukup banyak, tetapi muncul satu hal-hal yang lucu, di mana China tiba-tiba saja memberi peringatan keras kepada Indonesia agar tidak lagi mengeksploitasi minyak laut lepas di blok Natuna. Padahal, blok Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia.

Respons Indonesia dalam hal ini dipandang lemah dan tidak terlihat tegas.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU