> >

Insiden Penembakan di Sekolah Marak, Biden Didesak Larang Senjata Api

Kompas dunia | 11 Desember 2021, 12:09 WIB
Empat pita hitam diikatkan di pagar SMA Oxford, Michigan, AS untuk menghormati empat korban penembakan di sekolah pada 7 Desember 2021 lalu. Maraknya penembakan di sekolah-sekolah di AS membuat pemerintah dituntut lebih ketat mengatur kepemilikan senjata api. (Sumber: Jake May/The Flint Journal via Associated Press)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Penembakan massal di SMA Oxford, Michigan pada 30 November lalu membuat protes anti-senjata api di Amerika Serikat (AS) kembali meluas. Pemerintahan Joe Biden didesak lebih ketat meregulasi kepemilikan senjata api.

Pada Jumat (10/12/2021), para aktivis berdemonstrasi di depan Gedung Putih untuk meminta pertemuan dengan Presiden Biden. Salah duanya adalah Patricia dan Manuel Oliver.

Pasangan suami-istri tersebut vokal menentang kebebasan pemilikan senjata api sejak 2018 lalu.

“Kita harus meningkatkan urgensi dan mengirim pesan bahwa kita benar-benar perlu melakukan sesuatu yang berbeda dan tidak berpikir kalau penembakan-penembakan ini adalah sesuatu yang lumrah,” kata Manuel kepada Al Jazeera.

Manuel dan Patricia sendiri kehilangan putra mereka, Joaquin, dalam penembakan sekolah. Joaquin adalah satu dari 17 korban tewas dalam penembakan di SMA Marjory Stoneman Douglas, Parkland, Florida pada 2018 lalu.

Waktu itu, seorang alumni sekolah berusia 19 tahun memberondong siswa dan staf selama enam menit. Pelaku memakai senapan semi-otomatis AR-15 yang dibeli secara legal.

“Saya mati rasa. Saya kaget. Saya tidak bisa bicara. Saya tidak bisa melihat,” kata Patricia mengenai perasaannya atas kematian sang anak.

Baca Juga: DPRD Minta Kapolres Maluku Tengah Tanggung Jawab Atas Penembakan 18 Warga, Terindikasi Melanggar HAM

Kematian Joaquin pun membuatnya aktif mendesak regulasi senjata api yang lebih ketat.

“Saya di sini karena Joaquin menguatkan saya tetap melakukannya,” imbuhnya.

Penembakan di Parkland merupakan penembakan sekolah paling mematikan sepanjang sejarah AS. Namun, ironisnya, masih banyak penembakan lain yang mengikuti.

Menurut laporan CNN via Al Jazeera, terdapat 31 penembakan sekolah setahun setelah insiden Parkland.

Sementara itu, menurut data yang dihimpun Pascasarjana Pusat Pertahanan dan Keamanan Tanah Air (CHDS), terdapat ratusan insiden yang melibatkan senjata api di sekolah sejak 2018.

Biden sendiri mengakui bahwa kekerasan bersenjata api telah menjadi “aib nasional” bagi AS. 

Ia berjanji akan berbuat lebih untuk mengatasi masalah ini. Politikus Demokrat itu meminta Kongres AS meloloskan peraturan pembatasan senjata api.

Meskipun demikian, pembahasan peraturan tersebut masih macet di Kongres.

Sejumlah legislator memakai Amandemen Kedua Konstitusi AS sebagai alasan menolak peraturan senjata api yang lebih ketat. Amandemen tersebut mengizinkan kepemilikan senjata api.

Selain itu, permintaan terhadap senjata api justru meroket selama pandemi Covid-19. Naiknya angka penjualan beriringan dengan angka insiden mematikan yang melibatkan senjata api.

Di lain sisi, maraknya insiden penembakan membuat aktivisme menuntut kontrol senjata api semakin lantang. Manuel Oliver pun optimistis bahwa tuntutannya akan terpenuhi.

“Ini akan memakan waktu. Sebagaimana industri tembakau hari ini yang tinggal memiliki sedikit kekuatan, hal yang sama akan terjadi pada industri dan budaya senjata api. Saya pikir itu akan lenyap seiring waktu,” kata Manuel.

Baca Juga: Kasus Penembakan Empat Laskar FPI, Ipda Yusmin: Mereka Melawan, Senjata Dirampas dan Dianiaya


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Al Jazeera


TERBARU