> >

Gletser Dunia Mencair, Sumber Data Iklim hingga Sumber Energi Terancam Hilang

Kompas dunia | 13 November 2021, 15:54 WIB
Citra satelit menunjukkan percepatan mencairnya gletser di Gunung Kilimanjaro, Tanzania. Foto kiri diambil pada 2016, foto kanan pada 2021. (Sumber: Planet Labs via Associated Press)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Krisis iklim membuat gletser-gletser di dunia mencair dengan lebih cepat. Hilangnya massa es ini berpengaruh ke berbagai lini di berbagai penjuru dunia.

Dari selatan Jerman hingga pegunungan Papua, gletser memiliki fungsi penting bagi masyarakat. Gletser-gletser di dunia selama ini digunakan untuk pariwisata, sumber data bagi ilmuwan, serta bagian penting kepercayaan masyarakat adat.

Gletser sendiri diperkirakan telah meleleh sejak masa Revolusi Industri dan mengalami percepatan beberapa tahun belakangan.

Pemanasan global membuat gletser mencair secara cepat. Padahal, massa es ini diperkirakan butuh ratusan hingga ribuan tahun agar terbentuk.

Kecepatan cairnya gletser terlihat jelas di Pegunungan Rwenzori yang membentang di perbatasan Uganda dan Kongo. 

Puncak Pegunungan Rwenzori tadinya memiliki lebih dari 40 gletser. Namun, per 2005, kurang dari 20 gletser yang masih ada.

Gletser di pegunungan pun terus mencair. Para ilmuwan memperkirakan Pegunungan Rwenzori bisa sepenuhnya kehilangan gletser 20 tahun ke depan.

Baca Juga: Dampak Krisis Iklim: Gletser Afrika akan Sepenuhnya Mencair dalam Dua Dekade

Hilangnya gletser Rwenzori adalah kabar buruk bagi Uganda. Negara ini mengandalkan pembangkit listrik tenaga air, banyak di antaranya mengandalkan aliran air dari gletser Rwenzori.

Di selatan Jerman, hilangnya gletser juga mengancam turisme. Di perbatasan Jerman-Austria, kini hanya terdapat gletser seluas setengah kilometer persegi.

Para ahli memperkirakan, sejak 1850, gletser di perbatasan Jerman-Austria telah hilang 88 persen. Gletser yang tersisa pun diperkirakan akan mencair sepenuhnya dalam 10-15 tahun ke depan.

“Saat ini, agen wisata bisa mengiklankan, ‘Kamu bisa mengunjungi gunung tertinggi di Jerman dengan gletser. Kamu bisa berjalan di atas gletser,’” kata ilmuwan geodesi asal Bayern, Jerman, Christoph Mayer.

“Orang yang tinggal di wilayah ini mengandalkan penghidupan dari turisme. Akan ada dampak ke mereka jika gletser benar-benar hilang,” imbuhnya.

Baca Juga: Bencana Gletser Himalaya: Pembangunan PLTA Tak Perhatikan Lingkungan dan Risiko Bencana

Sementara itu, di Tanzania, gletser Gunung Kilimanjaro menduduki fungsi penting dalam kepercayaan masyarakat lokal. 

“Es di gunung (Kilimanjaro) adalah singgasana Tuhan. Itu memiliki makna yang sangat spiritual,” kata Rainer Prinz, glasiologis asal Universitas Innsbruck, Austria.

Selain penting bagi masyarakat adat, gletser Kilimanjaro juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata Tanzania. 

Gunung Kilimanjaro sendiri diperkirakan telah kehilangan 90 persen gletser.

Di sejumlah wilayah, gletser juga menjadi sumber air berharga bagi penduduk. Salah satunya di Peru.

Peru kehilangan hampir 30 persen gletser sepanjang 2006-2016. Hilangnya gletser pun berarti hilangnya sumber air masyarakat.

“Masyarakat-masyarakat itu bergantung pada gletser untuk memperoleh air bagi masyarakatnya,” kata Lauren Vargo, periset Antarctic Research Centre di Selandia Baru.

Mencairnya gletser juga menjadi kehilangan besar bagi kalangan ilmuwan. Pasalnya, lapisan-lapisan gletser menyimpan banyak informasi berharga.

Lapisan es pada gletser bisa berumur puluhan ribu tahun. Lapisan-lapisan itu memuat informasi tahunan mengenai kondisi iklim masa lalu, termasuk komposisi atmosfer, variasi temperatur, dan tipe vegetasi yang ada.

Apabila gletser hilang, maka rekaman informasi mengenai iklim Bumi dulu dan banyak informasi berharga lain terancam ikut hilang.

Kasus seperti ini pernah terjadi ketika ilmuwan meneliti gletser Carstenz di Papua pada 2010 lalu. Para ilmuwan disebut hanya bisa memperoleh data hingga 1960-an.

“Ini menyedihkan karena ini bukan hanya hilangnya warisan lokal atau nasional untuk Indonesia, tetapi juga hilangnya warisan iklim bagi dunia,” kata ahli kelautan Raden Dwi Susanto.

Baca Juga: Menteri LHK: Pembangunan Besar-besaran Era Jokowi Tak Boleh Berhenti atas Nama Deforestasi


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Associated Press


TERBARU