> >

Utusan Khusus AS Ungkap Negosiasi dengan Taliban dan Afghanistan sebelum Kejatuhan Kabul

Kompas dunia | 28 September 2021, 20:22 WIB
Sejumlah siswi sekolah dasar Afghanistan berbaris sebelum memasuki kelas. Taliban kini memperbolehkan siswi sekolah dasar kembali ke sekolah (Sumber: Antara)

KABUL, KOMPAS.TV - Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad mengungkapkan negosiasi antara AS, Taliban, serta pemerintahan lama Afghanistan sebelum jatuhnya Kabul. 

Hal tersebut diungkapkan Khalilzad dalam wawancara khusus bersama media Afghanistan, Ariana News

Menurutnya, ketiga pihak bernegosiasi untuk menentukan pemerintahan Afghanistan setelah pasukan koalisi ditarik negara masing-masing.

Akan tetapi, negosiasi itu tidak berjalan mulus. Taliban dan pemerintahan lama tidak menemui titik terang. 

Pemerintahan Ashraf Ghani menginginkan Taliban dimasukkan ke pemerintahannya. Sedangkan Taliban ingin membentuk pemerintahan sendiri.

Baca Juga: Italia Tak Akui Taliban sebagai Pemerintah Afghanistan, Tetapi Dukung Pemberian Bantuan Ekonomi

“Terdapat banyak alasan berbeda mengapa negosiasi itu tidak menempuh progres besar. Utamanya adalah terdapat gap ketidaksetujuan yang terlalu besar antara kedua pihak [Taliban dan pemerintahan Ghani] mengenai kesepakatan dan persetujuan politik,” kata Khalilzad.

Menurutnya, upaya-upaya untuk memajukan dialog telah dilakukan. Namun, ia menduga negosiasi tak berjalan jauh karena AS telah membuat kesepakatan dengan Taliban.

AS sendiri telah bersepakat dengan Taliban bahwa kelompok yang berkuasa pada 1996-2001 itu bisa membentuk “pemerintahan Islami” baru. 

“Saya pikir isu utamanya adalah bahwa AS dan Taliban sudah bersepakat mengenai pembentukan suatu pemerintahan Islami baru. Sedangkan pemerintahan Afghanistan [Ghani] ingin Taliban diintegrasikan ke pemerintahan lama daripada membentuk yang baru,” ucap diplomat berusia 70 tahun itu.

Menurut Khalilzad, jika itu terjadi, bentuk pemerintahan Afghanistan seakan mengulangi hasil Pemilu 2014 ketika Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah berbagi kekuasaan. Waktu itu, Ghani menjabat presiden sedangkan Abdullah menjabat CEO (setingkat perdana menteri) Afghanistan.

Persetujuan trilateral antara Ghani, Abdullah, dan Taliban pun sebenarnya telah digagas. Namun, persetujuan ini gagal terwujud karena Ghani menganggapnya menyalahi Konstitusi.

Beberapa jam sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, menurut Khalilzad, digelar pertemuan antara AS, Taliban, serta pemerintahan lama Afghanistan di Doha, Qatar.

Menurutnya, kesepakatan dari pertemuan itu adalah Taliban tidak akan menyerang Kabul. Mereka setuju untuk memberi waktu dua minggu kepada pemerintahan lama untuk pergi ke Doha dan menyetujui pembentukan pemerintahan baru.

Akan tetapi, Taliban kemudian merebut Kabul. Presiden Ashraf Ghani pun mengejutkan banyak pihak dengan kabur ke luar negeri.

Menurut Khalilzad, persetujuan AS agar Taliban bisa membentuk pemerintahan baru membuat kelompok itu punya posisi menguntungkan dalam negosiasi.

Sekalinya pemerintahan Joe Biden mempertahankan keputusan untuk menarik pasukan koalisi, kata Khalilzad, “Perubahan [kekuasaan] datang sesuai kekuatan di medan tempur.”

Pemerintahan Ashraf Ghani pun kemudian kolaps. Sebagian angkatan militer enggan mengangkat senjata melawan Taliban.

Anasir pemerintahan lama sempat melawan dengan dipimpin Wakil Presiden Amrullah Saleh. Namun, Taliban menggempur pasukan itu dan mengklaim telah berhasil menghancurkannya.

Kini, Taliban telah berhasil membentuk pemerintahan baru dan mendeklarasikan Emirat Islam Afghanistan.

“Dunia masih menanti apakah Taliban akan memenuhi komitmen yang mereka buat [tentang pemerintahan inklusif]. Jika mereka melakukannya, hubungan normal antara dunia dengan Afghanistan akan terpancang,” pungkas Khalilzad.

Baca Juga: Nasib Afghanistan Kemungkinan Berbeda jika Presiden Ashraf Ghani Tidak Kabur

 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Ariana News


TERBARU