> >

Stasus Sri Mulyani Jawab Kritikan Faisal Basri Soal Hilirisasi Nikel Untungkan China: Anda Keliru

Ekonomi dan bisnis | 14 Agustus 2023, 07:19 WIB
Ilustrasi tambang nikel. Ekonom Faisal Basri mengkritik kebijakan hilirisasi nikel dan menyebutnya hanya menguntungkan China. (Sumber: Dok. Antam)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Ekonom senior Faisal Basri belum lama ini mengkritik kebijakan hilirisasi nikel yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menyebut hilirisasi malah menguntungkan China, bukan Indonesia. 

Presiden Jokowi lantas merespon dengan mempertanyakan metode yang digunakan Faisal dalam menghitung manfaat hilirisasi nikel. Jokowi mengemukakan data-data soal keuntungan hilirisasi. Tapi menurut Faisal, data yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumbernya. 

Menanggapi kritikan Faisal tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, Yustinus Prastowo mengatakan, pernyataan Faisal keliru. Pasalnya pemerintah melalukan pungutan berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan royalti atas nikel dan produk pemurnian. 

"Saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda (Faisal) keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian," tulis Yustinus di akun Twitternya @prastow, dilihat Kompas.TV Senin (14/8/2023). 

Baca Juga: Jokowi Tegaskan Hilirisasi Nikel Tidak Berhenti, Singgung Nilai Ekspor Bisa Meroket hingga Rp 510 T

Yustinus menerangkan, tarif royalti dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, untuk izin usaha pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi menjual bijih nikel sebesar 10 persen. Kedua, untuk IUP yang memiliki smelter sehingga produknya feri nikel atau nikel matte sebesar 2 persen. 

"Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Untuk ijin usaha industri, pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak2 lain (PPh, PPN, pajak daerah, dan lain-lain)," jelas Yustinus. 

Ia kemudian memaparkan pendapatan pemerintah yang diterima dari perusahaan smelter yang naik signifikan, hingga 11 kali lipat. Yaitu dari Rp1,65 triliun di 2016 menjadi Rp17,96 triliun di 2022. Nilai itu naik 11 kali lipat.

"Jika digunggung untuk industri smelter dan besi baja secara keseluruhan, juga terjadi peningkatan penerimaan, dari Rp 7,9 triliun (2016) menjadi Rp 37,3 triliun atau naik hampir 5x lipat!," ujar Yustinus.

Baca Juga: Ketika Jokowi Kaget Soal Setoran Pajak Nikel: Besar Sekali Angkanya

Ia menegaskan, data-data itu sekaligus membantah pernyataan Faisal bahwa seolah-olah Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari kebijakan hilirisasi.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber :


TERBARU