> >

Sejarah Halalbihalal, Tradisi yang Dilakukan Umat Islam Setelah Merayakan Idulfitri

Tradisi | 2 Mei 2022, 08:05 WIB
Ilustrasi. Sejarah halalbihalal, tradisi umat islam di Indonesia yang biasanya dilakukan setelah Hari Raya Idulfitri. (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Masyarakat Indonesia, khususnya yang beragam Islam memiliki sejumlah tradisi ketika Hari Raya Idulfitri, salah satunya adalah halalbihalal.

Tradisi halalbihalal dilakukan umat Islam setelah salat Idulfitri di pagi hari, biasanya dengan bersilaturahmi.

Halalbihalal menjadi refleksi ajaran islam yang menekankan persaudaraan, persatuan dan berbagi kasih sayang pasca Lebaran.

Lantas, apa arti halalbihalal dan bagaimana sejarahnya di Indonesia?

Halalbihalal diadaptasi dari kata bahasa Arab. Kendati demikian tradisi ini bukan berasal dari negara tersebut melainkan asli Indonesia.

Baca Juga: Ingat! Pemerintah Imbau Halal Bihalal Lebaran Digelar Tanpa Makan dan Minum

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, halalbihalal adalah acara maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan.

Melansir Kemenag, halalbihalal berasal dari kata bahasa Arab “Halla atau Halala” yang artinya penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Oleh karena itulah, halalbihalal dimaknai sebagai kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi.

Halalbihalal bertujuan agar dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa. 

Sejarah Halalbihalal

Hingga kini masih ada perdebatan mengenai sejarah halalbihalal dan siapa pencetusnya.

Oleh karena itu, belum jelas siapa pencetus halalbihalal sebenarnya. Tapi dalam hal ini ada beberapa versi sejarah.

Sebelum tercetus kata halalbihalal, kegiatan ini sudah dilakukan sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. 

Baca Juga: 5 Tradisi Lebaran di Luar Negeri yang Mirip dengan Indonesia, Ada Mudik dan Halalbihalal

Setelah Idulfitri, Pangeran Sambernyawa menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. 

Kegiatan ini lah yang diadaptasi oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.

Sedangkan, tercetusnya istilah halalbihalal yang paling populer adalah berawal dari pemberontakan yang terjadi di Indonesia, di antaranya DI/TII dan PKI Madiun.

Dinukil dari laman Nadhlatul Ulama, disebutkan bahwa istilah "halalbihalal" pertama kali dicetuskan oleb KH Abdul Wahab Chasbullah. 

Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah satu ulama yang berpengaruh pada masa kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa yang ditandai dengan para elite politik tidak rukun.

Baca Juga: Presiden Joko Widodo akan Lebaran di Yogyakarta, Tak Gelar Halalbihalal

Saat itu, pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara.

Bung Karno meminta pendapat dan saran untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang semakin memanas. 

Kiai Wahab lantas memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi, mengingat sebentar lagi Hari Raya Idulfitri.

"Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain," jawab Bung Karno saat itu.

Kiai Wahab menjelaskan bahwa para elite politik yang bergesekan karena saling menyalahkan sehingga berujung dengan perbuatan dosa. 

"Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal," kata Kiai Wahab.

Dari saran itulah, Bung Karno akhirnya mengundang semua tokoh politik ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang diberi judul halalbihalal.

Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan halalbihalal secara rutin.

Kemudian tradisi halalbihalal ini diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat Muslim di Jawa.

Penulis : Dian Nita Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU